[Enam]

4.2K 748 89
                                    

Tidur di tempat yang sama seperti kemarin, lalu berangkat di pagi harinya. Berjalan tanpa arah yang jelas. Aku belum mau ke tempatnya Ukai. Tapi aku juga tak tau harus kemana.

Aku mau menikmati pagi ini dulu. Intinya itu.

Pergi ke tempat dimana dulu ayahku sering membawaku. Mungkin bisa dibilang hutan kecil (?). Banyak pohon, dengan salju tebal sebagai lantainya. Mengingatkanku akan malam itu. Ayah pertama kali membawaku kesini.

Wajahnya, ekspresinya, tidak begitu bisa diartikan. Kehilangan istri, pasti sangat berat untuknya. Dan akulah yang menyebabkan itu. Karena itulah aku tak pernah melawan.

Bahkan terkadang jujur saja, aku merindukannya. Rindu dengan pelukan dan kehangatannya sebelum itu terjadi. Juga, aku rindu dengan senyuman Rei dan Shin. Saat aku bermain dengan mereka, rasanya tak tergantikan.

Lalu setelah kejadian itu, aku tetap menyayangi mereka. Tapi luka di tubuhku yang berbicara. Jadi aku butuh lebih banyak kegiatan di luar sana. Kalau tidak, aku bisa menerima luka yang lebih parah lagi.

Di saat itulah. Tak sengaja aku menemukan dirinya, sang manusia yang indahnya seperti bulan, Tsukishima. Kemudian bertemu dengan kawan setianya, Yamaguchi. Kami bertiga menjadi sahabat tak terpisahkan.

Malam harinya, aku pasti akan menerima berbagai macam luka lagi dari ayah. Luka di tubuhku itu, sebanyak apapun, perlahan rasa perihnya mulai hilang. Karena, setelah malam yang mengerikan,

Aku tau setelah matahari terbit, mereka datang. Menyembuhkan ku dengan suara dan tingkah lembut mereka. Tak ada yang lebih baik dari itu.

Tes..

Ah, apa ini? Air mataku menitik begitu saja. Itu benar. Aku tidak punya banyak waktu di dunia ini. Itu benar. Aku harus meminta maaf pada mereka. Agar aku bisa tenang.

Semoga kesempatanku didengar kali ini.

Berjalan sambil sedikit melompat. Membantu mengurangi kekhawatiranku. Diam di pinggir jalan, menunggu lampu penyeberangan hijau. Masih setengah jalan menuju tempatnya Ukai.

Drap drap drap..

Suara langkah berlari datang begitu cepatnya dari arah kiri. Seenaknya dia langsung berlari menyebrang jalan. Padahal lampunya belum hijau. Aku refleks melangkah berniat menariknya ke pinggir.

"Hei, kau ini bodoh atau ap-"

Suaraku tertahan. Tanganku yang hendak memegang lengannya itu malah tembus. Orang itu berhenti dan menoleh padaku. Dia mengenakan pakaian yang sama persis denganku. Wajahnya juga. Dia adalah aku.

Semua tubuhku gemetar ketakutan. Tak lama sosok itu lenyap. Aku baru menyadari suara klakson. Semakin lama semakin keras.

Tubuhku tertarik ke belakang. Aku sempat melihat betapa kencangnya mobil itu melintas tepat di hadapanku. Selanjutnya, mataku terpejam.

Beberapa detik kemudian, kuberanikan diri membuka mata. Menyadarinya, sesegera mungkin aku menyingkir. Karena aku baru saja menimpa seseorang. Dia yang menarikku, kembali berdiri.

"Baka! Untuk apa kau kesana, bodoh?!"

"Go- gomen.."

Dia. Sang bulan yang menyelamatkanku. Tsukishima menghela nafasnya. Dia pun pasti sama kagetnya denganku. Aku baru sadar di sebelahnya juga ada Yamaguchi sama terkejutnya.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Yamaguchi.

"Aku cuma ada sedikit pikiran.. maaf.." ucapku.

"Hei, mau ikut bersama kami besok?"

Aku dan Yamaguchi menoleh bersamaan ke arah pria ber-megane itu. "Jangan salah paham dulu. Sedikit pikiran itu bisa mengacaukan cara kerjamu di tempat coach" lanjutnya.

"Baiklah aku ikut!"

"Di tokonya coach Ukai. Pukul 8, tidak ada kata terlambat semenit pun"

"Osu"

Tanpa basa-basi tentunya. Ini kesempatan besar bagiku untuk mengungkap dulu semua, lalu meminta maaf yang kedua kali padanya. Yamaguchi tampak tak ingin melarang atau mengatakan apapun. Kalau lensa mataku tidak salah lihat, dia sedikit tersenyum.

"Ikuzo, Yamaguchi. Jaa na, chibi"

Mereka berlari. Waktu mereka telah terpotong oleh kejadian tadi. Ya, semoga mereka tidak terlambat. Aku pun melanjutkan langkah ke toko Ukai.

---

Drrk...

"Oh pagi, (name)" sapa Ukai yang setia dengan rokoknya.

"Pagi, Ukai san" sapaku balik.

Aku menaruh ransel, lalu mulai merapikan barang-barang di toko juga di gudang. Tak lama, Ukai menghampiriku dengan sebotol air mineral di tangannya. Lalu dia memberikannya padaku.

"Wajahmu terlihat pucat hari ini. Ada apa?"

"O- oh begitukah? Mungkin efek kedinginan semalam" jawabku asal. Entah ada hubungannya atau tidak.

"Kalau tidak kuat, istirahat saja ya". Ukai keluar dari gudang dan kembali duduk di kursi kasir.

Cepat sekali. Kemarin saja tidak seperti ini. Perasaan tadi pagi-
Oh iya. Mungkin karena kecelakaan tadi. Jantungku terpompa lebih cepat dari biasanya. Mungkin itulah yang membuatku lelah sekarang.

Sesuatu tersangkut di tenggorokan. Dengan cepat aku mengambil tisu yang selalu kutaruh di saku celana. Aku terbatuk. Tanganku yang memegang tisu langsung menutup mulut. Saat kulihat, tuh kan benar. Darah.

Aku melipat tisu, dan melapisnya lagi dengan dua lembar tisu. Kubuang, lalu kucuci tanganku.

Sudah terbiasa sejak dua tahun lalu mungkin (?) Aku tak begitu ingat. Batuk darah itu bukan hal sepele, aku tau itu. Tapi aku baru punya uang, dan memeriksakan diri dua bulan lalu (setelah menabung dua tahun lamanya).

Yah seperti yang diduga, dokter tak bisa berbuat apa-apa lagi dengan diagnosa Leukemia-ku. Tinggal menunggu waktu saja. Shin dan Rei? Mereka tidak tau tentang ini. Sudah cukup aku merepotkan mereka lima belas tahun ini.

"Kenapa?" Tanya Ukai. Dia aneh melihatku tiba-tiba buang tisu lalu cuci tangan terburu-buru.

"Engga, tadi ada yang kotor" jawabku. Ukai menatapku sebentar, lalu mengalihkan padangan ke majalah yang sedang dibacanya.

Sepertinya ada baiknya aku mengistirahatkan diri lebih awal malam ini. Besok ada pertemuan penting yang harus kulakukan.

°●--------------------●°

Kara: Kok ada unsur horror nya dah? Siapa si yang nulis?

Mocha: Kan kita yang nulis berdua. Kubeliin cermin juga nih lama lama -_-

Chance (Tsukishima X Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang