18. Callavendise Castle

20 0 0
                                    

"Eungh..."

Mengapa tubuhku terasa seperti sesak sekali? Aku menurunkan padanganku pada tangan besar yang tengah melingkar di perutku. Siapa yang tengah memelukku? Aku berbalik dengan pelan dan aku menemukan wajah dengan pahatan sempurna tengah memejamkan matanya. Dia tertidur nampak begitu sangat pulas dan tenang.

Aliran darahku terasa terhenti begitu wajah yang tengah aku tatap perlahan membuka mata indah hitam keabu-abuan itu menatapku. Dia sedikit menampilkan senyum singkat padaku, beberapa saat aku terpesona lalu langsung tersadar dan mengalihkan pandanganku.

Apa yang aku pikirkan? Aku segera beranjak bangun. Namun tangan kekarnya itu kembali menarikku hingga aku terjatuh tepat di atas tubuhnya. Aku menahan napasku, kini posisiku seperti tengah melakukan adegan panas di ranjang.

Dia memelukku, sedangkan aku dengan susah payah menahan tubuhku agar tidak langsung menempel pada dada bidangnya.

"Aku masih ingin menikmati ini, diamlah. Aku merindukan ini," katanya, mengelus-ngelus pelan punggungku.

Aku sudah tidak dapat melakukan apapun selain hanya bisa pasrah dengan semua ini.

Entah apa yang tengah Calfred pikirkan dia seperti sangat nyaman dengan posisinya hingga lama sekali dia tak melepaskan pelukannya.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku setelah ia melepaskan pelukannya. Dia nampak seperti murung dan sedih.

"Bisakah kau terus bersamaku?" 

Kenapa tiba-tiba dia mengatakan itu? Apa dia benar-benar tidak mau kehilanganku? Aku hanya diam karena terlalu bingung untuk menjawabnya.

Dia memejamkan matanya pelan, lalu beranjak pergi berjalan sangat pelan ke balkon seperti tak mempunyai cukup tenaga.

Apa aku salah jika aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu? Aku terlalu bingung padanya. Ah rasanya pusing, aku harus segera membersihkan tubuhku terlebih dulu.

"Kau harus segera membawanya kembali, jangan terlalu berlama-lama. Jika ia selamat maka kau juga akan selamat."

"Iya aku tahu, tapi ini sulit."

"Jangan sia-siakan waktumu, Calfred. Kalian harus segera kembali."

Tanganku berhenti mengucek-ngucek rambut basahku dengan anduk. Dengan siapa dia berdebat? Membawanya kembali? Siapa? Siapa yang ia maksud itu? Mengapa terburu-buru sekali?

Dengan rasa penasaran yang semakin menjadi. Aku segera menghampirinya yang sedang berada di balkon. Baru saja hendak bangun, dia sudah berdiri tepat di depanku dengan tiba-tiba. Jika saja aku punya riwayat penyakit jantung, mungkin tiap bersamanya aku akan selalu jatuh pingsan bahkan mati di tempat.

"Tadi siapa?"

Dia menaikkan sebelah alisnya, "huh?"

"Tadi kau berbicara dengan siapa? Siapa yang harus kau bawa kembali?" tanyaku menaikkan nada, aku sungguh penasaran.

"Seorang gadis."

Aku mengerutkan kening, seorang gadis? Siapa? Mengapa harus ia bawa kembali?

"Siapa?"

Apa yang aku bicarakan? Mengapa aku harus menanyakannya siapa? Tapi rasanya aku tidak terima dengan apa yang barusan dia katakan. Apa yang ada di dalam diriku hingga aku seperti ini? Dia pasti berpikir macam-macam.

"Kenapa? Kau tak suka?" Suara bariton itu terdengar sangat dingin.

Dia melangkahkan kakinya lebih dekat ke arahku, secara otomatis aku pun mulai berjalan mundur demi menghindarinya. Suasana terasa menjadi sangat tidak enak. Bodoh, aku bodoh. Seharusnya aku tak perlu menayangkan itu.

AGAINST DEATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang