01. Strange Day

142 28 2
                                    

Manikku menatap papan tulis dengan sangat bosan. Hanya sekedar mengangguk saat guru di depan menanyakan apa semua siswa mengerti atau tidak. Padahal tentu saja aku tidak akan mengerti pelajaran hitung menghitung tersebut. Rasanya mustahil jika aku akan mengerti mata pelajaran itu.

Menatap jam tangan yang aku kenakan yang sudah menunjukkan pukul 12 yang berarti istrirahat akan segera tiba. Kemudian memalingkan wajah, temanku Fayza, Zenna sudah menatapku dengan ekspresi penuh tanya.

Aku menatap mereka secara bergantian, lalu mendesah. Kompak sekali mereka, dan aku sudah hafal apa yang mereka inginkan.

"Jam 12," kataku sepelan mungkin.

"Azell, sedang apa kamu?"

Napasku tercekat dan aku langsung membulatkan mata lebar-lebar. Jantungku berdegup dengan kencang, bukan karna laki-laki yang aku sukai berada di dekatku, melainkan aku akan di tandai guru matematika itu nantinya. Mati saja aku, memalukan.

"Oh ini bu, Zenna bilang ada tawon di kepalaku," balasku tak lupa dengan senyum gugupku. Guru matematika itu hanya geleng-geleng kepala.

"Kalian boleh istrirahat." Kalimat favorit dari kalangan semua siswa itu terucap dari guru tersebut.

Semua siswa penghuni kelas berhamburan pergi berbondong-bodong untuk pergi ke kantin. Mengisi perut yang kosong dengan jajanan kesukaan mereka.

"Panas banget," lirih Zenna menutupi wajah dengan lengannya.

Untuk sampai ke kantin memang harus melewati lapangan. Dan mau tak mau harus menyebrang luasnya lapangan jika tidak mau mati kelaparan di dalam kelas.

"Padahal matahari itu jauh tapi panasnya kerasa banget. Sama kaya aku dengannya, jauh tapi rasa ini terasa sangat dekat," jawab Fayza memasang wajah sedihnya.

Gadis-gadis yang berada di sebelahnya mendesah dan memutar bola mata malas dengan tingkahnya seperti orang paling sedih di dunia.

"Kasian sekali. Aku sarankan jika menyukai sesorang yang itu cobalah cari orang yang mudah di gapai," imbuhku. Aku tertawa saat melihat wajah melas Fayza mendengar jawaban dariku.

"Kau belum merasakannya. Lihat saja nanti. Iya, aku menyadarinya bahwa dia memang tak mudahku gapai," katanya menunjuk-nunjuk ke arah wajahku dengan jari telunjuknya.

Melihat wajahnya yang tak lagi terlihat bersemangat, aku memeluknya dari samping. Dan terkekeh, "Sudah, tak ada gunanya bersedih seperti ini. Kita akan makan, jadi ayo semangat lagi."

Gadis itu lantas tersenyum cerah lagi. Memang tak susah membuatnya tersenyum seperti ini.

Tak lama kami langsung mengambil tempat duduk yang biasa kami duduki di sisi pojok kantin dekat jendela.

Dengan rasa malas yang di lawan akhirnya Zenna dan Bella berdiri untuk memesan makanan dan mengantri.

Cukup beberapa lama mereka menghabiskan waktu di kantin. Hingga Bel telah berbunyi kencang di seluruh penjuru sekolah.

Saat hendak memasuki ruang kelas. Aku malah berbalik memutar kembali.

"Mau kemana?"

"Mau ke kamar mandi. Mau ikut?" Zenna menggeleng.

Berjalan di lorong yang cukup lumayan sepi. Hanya ada suara telapak kakiku yang mungil bersuara saat aku melangkah satu demi satu.

Entah perasaanku saja atau memang kenyataan. Aku merasa auranya berbeda dengan biasanya. Lorong yang panjang itu terasa minim cahaya di saat di luar sana cahaya matahari sedang terik-teriknya menyinari bumi.

AGAINST DEATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang