07. The Calm

50 11 0
                                    

"Pak, tolong cepat," mohonku pada supir taksi yang sedang kami tumpangi.

Sudah puluhan kali aku terus mengoceh untuk meminta supir taksi itu menjalankan mobil cepat-cepat. Jika saja supir itu tidak sabar menghadapiku sudah di pastikan kami akan di usir.

Ingin sekali aku berteriak sekencang-kencangnya begitu aku sangat begitu prustasi melihat di depan sana sedang terjadi kemacetan.

"Maaf nona, jalannya macet."

Tenagaku sudah habis. Aku tak bisa berbuat apa pun. Hanya bisa terus menangis dan pasrah seperti ini yang dapat aku lakukan.

Aku tau, sejak tadi orang itu terus menatapku yang sangat menyedihkan ini. Aku langsung menundukkan kepalaku. Mengapa dia hanya diam tak melakukan apa pun dan terus menatapku seperti itu? Apa aku sangat terlihat menyedihkan di matanya? Tapi seharusnya dia memenangkan aku, jika tidak memeluk dan menepuk-nepuk pelan bahuku. Sudahlah, memang tak perlu berharap. Tangisku kembali menderas.

"Ma-mama..."

Seolah ia bisa mendengar pikiranku, dia mendekati diri dan menarik tubuhku ke dalam dekapannya.

"Jangan terus menangis," katanya dengan tangan besarnya yang mengelus-ngelus pelan puncak kepalaku.

Aku masih tak berhenti terisak-isak di dalam pelukannya. Mungkin aku meninggalkan jejak kotor menjijikkan di seragamnya. Entah itu air mataku atau mungkin cairan kental yang berasal dari hidung dan mulutku. Aku begitu minta maaf atas hal itu, itu tidak aku sengaja.

Elusan tangannya di puncak kepalaku itu membuat tangisku semakin mereda perlahan-lahan.

"Kau merasa nyaman?" Tanpa berpikir panjang aku langsung mengangguk pelan.

Tersadar akan hal bodoh yang barusan aku lakukan aku menjauhkan diri darinya, lalu merapihkan tampilanku yang sudah tidak berbentuk.

Dia berdecih lalu tersenyum, "Jangan munafik seperti itu, kemarilah," katanya dengan merentangkan tangannya. Aku hanya terdiam tanpa melakukan apa pun.

Dia mendekatiku dan langsung memelukku dan mengelus puncak kepalaku kembali. Aku rasa hal seperti ini memang sudah menjadi keahliannya.

Pelukan ini sangat hangat dan nyaman. Aku lupa kapan aku bisa di peluk senyaman dan sehangat ini. Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya terlebih lagi dengan seorang pria selain kakak dan ayahku. Ini pertama kalinya bagiku, dan tentu saja membuatku tegang tak terbiasa dengan posisi seintim ini.

Rasanya aku ingin tidur untuk mengistirahatkan tubuhku yang lelah di dalam pelukan ini, tapi beberapa saat kemudian kami sudah sampai di depan gerbang rumah sakit.

Aku melihat ayahku berdiri mondar mandir dengan raut wajah yang begitu sangat khawatir. Aku segera berlari menghampirinya.

"Ayah, mama?"

"Sayang, mama kamu sedang di tangani dokter."

"Mama..." aku melihat ibuku di dalam sana tengah berbaring dan sedang dokter tangani. Aku sungguh tidak bisa melihat ibuku seperti itu di dalam sana.

Kakak menuntunku perlahan untuk duduk. Hari ini kakiku mengapa seperti tidak memiliki tenaga untuk berjalan sedikit pun sejak tadi.

Sedari tadi aku terus berdoa agar ibuku bisa melewati hal ini dan di berikan kekuatan. Aku tak ingin ibuku menderita. Aku hanya ingin ibuku terus sehat sampai melihatku berhasil mencapai impianku dan melihatku bersama orang yang aku cintai nantinya.

"Aku mau ke kamar mandi," izinku pada kakak dan ayahku serta orang yang membantuku ke sini.

"Nak hati-hati."

AGAINST DEATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang