10. Thought

40 10 1
                                    

Setelah kepergian ibuku. Hariku semakin memburuk tak teratur lagi. Sering sekali kehilngan fokus, sering melamun dan mudah menangis. Aku tahu itu seharusnya itu tak boleh aku lakukan, tapi nyatanya aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Jujur saja aku masih belum bisa mengiklaskan kepergian ibuku. Aku sangat begitu membenci kepergian dari orang-orang terdekatku. Aku benci perpisahan.

"Azell, pulang sama siapa?" Zenna bertanya padaku mungkin sudah puluhan kalinya.

"Aku pulang bersama mam—ah tidak, aku jalan kaki."

Zenna menghela napas pelan menatapku lirih. Dia memelukku, dia tau aku masih tidak bisa membiasakan diri setelah kepergian ibuku.

"Aku antar ya?" aku menggeleng. "Sekali saja?" mohonnya.

"Tidak, Zenna. Aku bisa pulang sendiri. Kebetulan otakku sangat panas saat pembelajaran metematika itu. Jadi aku rasa berjalan kaki akan menyenangkan," jelasku, semoga saja dia mengerti serta tidak memaksaku.

Kulihat dia hanya pasrah mendengar jawabanku yang sama seperti dia bertanya padaku dan hari kemarin saat aku juga menolak tawarannya untuk pulang bersama dengannya.

"Ya sudahlah, hati-hati di jalan ya! Kalo ada sesuatu yang terjadi langsung hubungi aku," katanya menepuk-nepuk pundakku pelan.

Aku hanya mengacungkan jari jempolku dengan senyum seadanya.

"Hentikan senyum paksaan itu. Itu mengerikan asal kau tau, Zell." Fayza nyeletuk begitu kesal melihatku.

Sepertinya dia juga kesal karena aku terus menolak ajakan mereka. Aku hanya terkekeh pelan menangapinya. Aku juga tak mau seperti ini, tapi aku tak bisa melakukan banyak hal selain bersikap seperti ini.

Sekarang aku sedang tidak ingin naik bus, berjalan kaki sepertinya sedikit membuatku merasa nyaman. Aku berbelok ke arah dimana ibuku dimakamkan.

"Mama, hai," sapaku saat sampai di depan makam ibuku dengan tanah merah yang sedikit masih terlihat basah.

Padahal baru satu minggu aku mampir ke makam ibuku setelah hari itu. Tapi aku sudah ingin mengunjunginya lagi, aku merindukan ibuku. Sebenarnya aku takut, aku sangat takut menghadapi hal ini. Dan itu malah terjadi padaku tanpa bisa aku menolaknya, ini menyesakkan.

"Mama tau? Saat satu minggu terakhir ini aku begitu cengeng." Aku terkekeh di saat aku mulai kembali menjatuhkan air mata. "Kalo mama disini pasti mama marah. Setiap ingin melakukan sesuatu aku menangis dan selalu saja mengingat mama."

Ya, sejak saat itu aku terus menangis, aku tidak bisa menahannya. Sepertinya itu menjadi hobiku belakangan ini. Aku menghapus jejak air mata yang berbekas di wajahku, aku tidak boleh datang ke tempat ini hanya untuk sekedar menangis di sini.

"Ma, maaf ya aku bahkan tidak tahu mama selama ini sakit."

Meski sudah di tahan, air di dalam mataku terus keluar begitu saja tanpa di perintah. Aku merasa aku tidak berguna menjadi anak gadisnya, aku merasa gagal menjadi anaknya yang tidak tahu menahu soal penyakit yang diidap ibuku.

"Mama, di sana jangan lihat aku menangis terus seperti ini ya."

Sesak sekali saat mengatakan hal itu. Orang yang selalu mengurusku sejak kecil, orang yang telah membesarkanku sejak kecil kini sudah tiada lagi di dalam hari-hariku. Padahal baru saja kemarin rasanya ibuku mengantarku ke sekolah dasar dengan berjalan kaki. Tapi kini sudah tiada lagi. Biasanya setiap hari aku bermanja-manja dengan ibuku. Kini sudah tak bisa lagi. Ini terasa tidak nyata.

"Ma-mama.. Maaf..."

Setelah selesai berdoa. Aku segera beranjak pergi. Aku tak kuat lagi menahan tangisku di sana. Aku tak kuat melihat nama ibuku terpampang di batu nisan itu. Itu membuatku sungguh tak kuasa melihatnya.

AGAINST DEATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang