06. Yesteryear

53 15 0
                                    

"Hei, soal-soal hari ini mengapa sangat sulit," rengek Bella.

"Aku saja sampai tidak mengerti aku menulis apa di lembar jawabannya."

Sontak kami tertawa sampai Fayza terjatuh ke lantai karna tertawa yang begitu berlebihan. Sepertinya anak itu begitu suka sekali tertawa, atau itu hanya sebagai pengalihannya saja karna otaknya yang mengebul setelah mengerjakan ujiannya tadi. Jawaban yang polos itu begitu saja keluar dari mulut gadis itu.

Aku mengaruk kepalaku yang tak gatal. Mengacak-ngacak rambutku sampai tak lagi berbentuk. Lantas aku berdiri dan berjalan begitu saja keluar kelas.

"Kebiasaan anak itu ya," ujar Bella, lalu mengejarku.

Memang selalu kebiasaanku setelah melakukan suatu ujian apa pun itu jika membuatku pusing, aku akan pergi ke suatu tempat untuk mencari udara segar. Otakku harus di istirahatkan sejenak.

Sengaja aku berjalan dengan cepat agar Bella tak dapat menemukanku dan mengikutiku. Sekarang aku hanya ingin sendirian. Kali ini aku ingin pergi naik ke atap sekolah sendirian. Jujur saja aku baru pertama kali menginjakkan kakiku ke atas gedung sekolah ini.

Saat hendak baru saja naik ke anak tangga terakhir aku berhenti karna melihat pria di depanku yang menatapku.

"Kita bertemu lagi."

Karna aku sangat malas berurusan dengannya aku berbalik hendak kembali lagi ke bawah, tapi dia memegang tanganku menahannya.

"Aku ingin bicara denganmu," mohonnya masih memegang tanganku.

"Baiklah, tolong lepaskan tanganku," perintahku menatapnya tajam.

"Maafkan aku. Sepertinya kau sangat membenciku." Dia turun satu anak tangga lagi. Hanya dua anak tangga lagi dari kakiku berdiri membuat kami begitu sangat dekat.

Memalingkan wajah, aku tak ingin memandang wajahnya itu. Rasanya jika aku memandang wajah itu, aku malah semakin membencinya. Kurasa dia tahu bahwa jawabanku memang membencinya, sangat membencinya. Seharusnya dia tak perlu lagi bertanya padaku.

"Aku menyukaimu."

"Cih, aku tak lagi ingin melihat wajahmu lagi," sungutku sambil menyilangkan tanganku di depan dada, tetapi mataku tak menatapnya.

Ya, jadinya sekarang aku tak jadi untuk mengistirahatkan otakku yang terasa sangat pusing ini. Kenapa meski ada dia? Mengacau saja.

"Kenapa? Dulu itu masalah sepele kenapa kau menganggapnya serius. Kau terlalu berlebihan."

"Sepele kau bilang? Kau membuatku sampai sakit berhari-hari. Karna ulahmu!" suaraku meninggi, tak peduli jika ada orang di bawah sana yang mendengarku.

Mungkin bagi orang lain itu masalah sepele, karna masalah seperti itu sering terjadi saat masih kecil. Tapi bagiku itu seperti mimpi paling terburuk yang aku alami, aku masih tak bisa menerimanya, aku begitu sangat membencinya samapi detik ini, entahlah rasanya sekarang rasa benci ini semakin membesar.

"Kau masih sama ya. Masih menjijikkan."

Plak!

Satu tamparan berhasil mendarat mulus di pipinya. Wajahku bergetar, air berasal dari mataku itu tiba-tiba saja menyapa pipiku begitu saja. Mengapa harus keluar di saat seperti ini? Ini memalukan tapi aku tak bisa lagi menahannya. Aku teringat masa laluku.

Tak tahan lagi, aku segera berlari turun ke bawah. Tak peduli mataku masih mengeluarkan air. Tanganku menyekanya dengan kasar. Aku kesal psda diriku sendiri, kenapa mesti harus keluar di saat seperti tadi.

"Hei, ini tanda pengenalmu jatuh."

Ada orang yang menyodorkan name tagku tapi aku melewatinya. Aku tak tau siapa itu, aku hanya terus berlari melewatinya sambil menutup wajahku. Tujuanku adalah kamar mandi.

AGAINST DEATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang