Harapan

203 27 8
                                    

Sebuah perasaan dimana ekspetasi dan hal yang digadang-gadang menjadi nyata.


Hening di perpustakaan saat ini menjanjikan ketenangan, mengasah pemikiran serta fokus bagi semua orang di ruangan tersebut, tak terkecuali Mingyu.

Pasalnya, sosok ringkih Mingyu tengah berkutat dengan buku dan pena di bangku pojok ruangan, tempat buku-buku sastra tersimpan rapi disana, dekat sekali dengan jendela besar yang penjaga perpustakaan buka lebar-lebar. Entah asyik menulis apa,

Jiwa pria ini bukan seorang pujangga, Tetapi matanya berselimut halimun selaik baskara pun gurat-gurat lembayung ketika senja tiba.

Ia tak pandai berkata-kata manis, sebab, afeksinya akan selalu ada dan terasa ketika kau menemukan matanya.

Hadirnya selalu dinanti, Meluangkan waktu tiap hari, Merelakan bagian dirinya untuk perduli, Sampai dia lupa untuk bahagiakan diri.

Ada banyak bekas luka dan sisa senja, dibalik senyumnya yang menawan dilihat, hingga ingin menambatkan hati.

Dia datang dengan senyuman dipagi hari, lalu diakhiri tangis pilu nan menyedihkan di sepertiga dini hari.

"Tulisanmu bagus." Ucapan itu terdengar dari bibir tipis Eunwoo usai ia membaca keseluruhan puisi bertulis tangan rapi diatas buku bersampulkan warna cokelat. Kemudian pria itu tersenyum, karena Mingyu mengangkat wajahnya lalu balas tersenyum hangat.

"Terimakasih Eunwoo atas pujiannya." Kata Mingyu sembari berikan kurva tipis diakhir katanya.

"Ini begitu rapi dan cantik." Imbuhnya, sembari tatap Mingyu dikedua bola matanya yang perlihatkan manik cokelat indahnya.

"Apakah merujuk pada seseorang puisi ini, Gyu?" Tanyanya,

Lalu anggukan pelan sebagai tanda jawaban yang Mingyu berikan.

Namanya Eunwoo, orangnya tidak peka. Lantas Eunwoo menarik bangku yang berada di depan Mingyu, dan mulai memperhatikan tangan bersenjatakan pena itu mengukir kembali kata menjadi kalimat diatas kertas putih tersebut.

"Kau suka menulis?"

Yang ditanyai memberikan atensi ke penanya, lantas berikan senyum tipis dengan gumaman kecil sebagai jawabannya.

"Kenapa?" Ini Eunwoo, lagi-lagi bertanya sembari menatap wajah Mingyu, lalu maniknya bergulir untuk sekedar bersitatap dengan manik bening Mingyu.

Dengan tatapan melembut, dan tutur kata yang tulus, pemuda itu menjawab, "Dengan menulis, aku bisa tumpahkan kesedihan didalamnya, goreskan luka hati pada secarik kertas, katakan pada bisunya putih kertas bahwa aku mencintainya teramat dalam, serta berikan kata penyemangat akan curahan hati tanpa orang lain bisa tahu bahwa aku terluka."

Lantas hening menyapu keadaan mereka. Lengang seketika. Lalu, Eunwoo termenung dalam pikirannya.

"Eunwoo? Kau melamun?"

"Aku tidak."

"Benarkah?"

"Ya. Ingin makan siang bersama?" Kata penegas dilanjutkan ajakan tersebut terlontar dari mulut Eunwoo,

"Tentu, aku juga sudah selesai."

Ajakan itu diterima, sembari membereskan barangnya. Lantas, kedua insan tersebut melenggang pergi dari perpustakaan, meninggalkan percakapan mendalam tersebut dengan keheningan yang menyelimuti.

Melankolia ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang