A Kiss

22 4 0
                                    

Kala itu, di ruangan kantor bernuansa cokelat.

Ditemani buku, alat tulis, gawai, dan perabotan minimalis lainnya.

Dua manusia berlawan jenis.

Berimpit di dekat meja. Lama tak bersua, dirasa ...

dan sebuah saksi mata, yang tak mampu mengerjap mata terbuka lebar.

Ciuman, dari sepasang manusia yang takkan pernah bisa dia bayangkan.

Lelaki berbadan besar itu termangu di posisinya. Aliran neuron sarafnya serasa berhenti, tak tahu mesti berkutik bagaimana. Sedetik, dua detik. Dua orang yang ditatap segera menyadari ada kehadiran lain di ambang pintu ruangan.

Gadis si pelaku sama terkejutnya. Tidak, ia tidak sampai shock atau berekspresi semacam itu. Ekspresi wajahnya lebih menampakkan kalau dia ... heran kenapa lelaki itu ada di sana.

Belum sempat gadis itu menggerakkan badan, lelaki yang berdiri jauh di depan sana berbalik pergi. Hal yang mengisi kepala gadis itu sekarang adalah ...

Kebingungan, murni.

Ah, bagaimana ini bisa terjadi?

Gadis itu melihat pria di dekatnya. Kurang lebih raut wajah yang terpancar sama dengan miliknya. Ah, mereka berdua pasti berpikir ini benar-benar kejadian yang tidak terduga.

“Ah.” Pria itu berucap. Ia masih menatap pintu ruangannya yang terbuka. “Bagaimana, ya ....”

Gadis di dekatnya pun sibuk pada pikiran sendiri, yang sebenarnya kosong. Tak mengerti, masih berpikir sama.

“Yah,” kata pria itu. “Lambat laun dia pantas untuk tahu, 'kan.” Pria itu berjalan menuju sofa terdekat, lalu duduk di atasnya. “Tapi seperti ini, ya, rasa menghadapinya?”

Gadis itu melihat dirinya mengerutkan kening. Ada rasa tak enak yang terpatri di wajah mulus putih pria itu.

“Sudahlah.” Raut wajah laki-laki itu berubah datar perlahan. “Nasi sudah menjadi bubur.”

Desah napas keluar dari mulut si gadis. Butuh beberapa waktu hingga mereka berkomunikasi kembali.

“Kalau begitu, aku mau pulang saja,” katanya pamit.

“Iya. Hati-hati di jalan.”

Gadis itu berjalan keluar dan menutup pintu. Sepanjang perjalanan, dahi gadis itu masih saja berkerut, memikirkan kejadian yang akan terjadi ke depan nanti. Baru kali inilah, ia bingung untuk mengatasi sebuah perkara.

Harus bilang apa aku nanti padanya?

...

Mereka bertemu di rumah setelahnya. Bagi mereka, itu bukan hal yang mudah dibahas. Dua teman serumah itu menahan diri dalam waktu yang lama dengan sikap masing-masing yang semakin hari semakin canggung.

Gadis itu tak tahan. Sebagai pelaku ia yang mencoba memulai pembicaraan terlebih dahulu, mengingat perangai teman lelakinya ini yang suka merasa segan–terlebih akan kenyataan mengetahui hal seperti itu.

“Hei,” tegur gadis itu. Meski ia tak tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berlanjut, ia tak bisa untuk tidak mengatasi ini terus-terusan.

“Kita perlu bicara.”

prompt of  “Apa yang harus kukatakan di pertemuan kita selanjutnya?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

prompt of  “Apa yang harus kukatakan di pertemuan kita selanjutnya?”

I hope it's fulfilled.

DWC2020: Scarving for Sacrifice in 30 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang