Malam ini, aku bersama anak tuan rumah menghabiskan waktu di ruangan bersama lantai dua seperti yang biasa kami lakukan. Memang, mungkin sebenarnya tak begitu sering kami berdua berada di ruangan yang sama kala langit menggelap. Gadis itu yang lebih sering mendiami tempat ini, duduk di meja belajar dan berkutat pada buku-buku beserta alat tulis yang jarang sekali aku perhatikan apa saja. Sementara itu, aku akan mendekam di kamar menikmati temaram ruangan yang menenangkan, kecuali kalau ada yang sambil kudiskusikan dengannya, maka aku akan duduk di sofa panjang miliknya sembari membawa komputer portabelku. Kami akan masuk ke kamar masing-masing jika urusan berbincang kami sudah usai.
Kini, ketika aku sudah selesai merapikan buku-buku yang ia ambil, meletakkannya kembali pada lemari di belakang sofa dekat dinding, dan sedang menyingkirkan debu-debu pada lemari berlaci besar dekat pintu kamarnya, ia meringkuk di atas sofa memeluk lutut. Aku belum melihat wajahnya karena sedikit tertutupi, tetapi aku tahu ini adalah momen di mana hal-hal yang penting ... dan kadang sensitif akan segera terbahas.
“An.” Ia memanggilku. Aku berhenti menggoyangkan kemoceng kecil di tanganku dan menoleh padanya.
“Ya?”
Mata gadis itu menerawang, setengah kosong. Kedua netra gadis itu memang tidak pernah cerah, tetapi kali ini aku merasai indera penglihatan gadis itu benar-benar terlihat kelam. Aku tahu ia selalu merenung pada keberadaan yang tak ada di dunia, tetapi kadang aku bertanya seberapa dalam ia bisa masuk dalam pikiran-pikiran yang mungkin takkan ada ujungnya itu?
Dia mengeluarkan sebuah omongan: sesuatu yang sangat tak kusangka untuk jadi sebuah awal pembicaraan.
“Apakah ... melupakanmu merupakan kesalahan terbesar yang kubuat?” tanya gadis itu. Aku terdiam. Wajahnya menoleh padaku. Mata milik gadis itu semakin terlihat kosong. Rambut ikal mayang yang jatuh di sisi-sisi lengan dan punggungnya tampak sedikit kusut.
Aku masih tertegun. “Kenapa ... tiba-tiba ...?” tanyaku tak sangka. Pikiranku serasa terhenti. Bersama dengannya, aku tak pernah ingin kami membahas hal di antara kami dengan cara seperti ini. Entah, aku tidak tahu mengapa aku sungguh tak menginginkannya.
“An, kalau aku tidak melupakanmu, apa yang akan terjadi pada kita berdua?” tanya gadis itu. “Aku nyaris tak pernah memikirkannya karena selama ini hal itu tidak menjadi masalah untukku. Tetapi, An, sekarang tidak ada masalah yang mesti aku renungu. Maka dari itu, kenapa aku harus melupakanmu?” Ia memberiku pertanyaan bertubi. “Kenapa harus kau, An? Kenapa kau saja?”
Aku masih diam. Dia terlalu menodongku banyak pertanyaan. Ini sulit untuk dicerna dan diproses hingga aku bisa memberi respons.
“Apakah mengingatmu justru adalah kesalahan terbesar yang kulakukan di masa lalu? Jadi, sebenarnya mana yang salah?” Ia menaikkan kepalanya, terlalu mendongak. Mata itu masih mengarah padaku. “Semakin dipikir, hal ini semakin menggangguku. Kenapa aku harus menghapus ingatan tentangmu?” Ia belum berhenti bertanya. “Aku harus mengetahui jawabannya, tapi harus kucari dari mana?”
Gadis itu berdiri dari duduknya. Ia berjalan pelan, menghampiriku. Ketika ia sudah berada di dekatku, ia meraih tangan kiriku yang kosong.
“Kau selalu menghindar ketika aku berusaha membicarakan perihal di antara kita. Sebenarnya, apa yang kau sembunyikan?” Mata kosong yang tadi kulihat kini berubah menjadi sorot tajam. “Apa perlu kau sembunyikan? Atau kau menahannya? Untuk apa?”
Ia masih belum berhenti bertanya.
“Yang aku tahu, kau bukan sosok yang mengganggu dalam hidupku. Kalau begitu kenapa aku harus melupakanmu? Pasti ada alasannya, ‘kan?”
Pikiranku penuh akan sesuatu yang tidak pasti. Ia masih bertanya lagi.
“Kalau memang itu akan menjadi kesalahan terbesarku, setidaknya kenapa? Aku ingin tahu kenapa ....”
“Berhenti,” tukasku. Kepalaku terasa pusing. Hawa di sekitarku tiba-tiba terasa panas. Gadis itu masih menatapku, yang kini lebih menampakkan pandangan nanar.
“Aku tidak tahu,”—kututup wajahku dengan tanganku—“maka dari itu berhenti ....”
Pegangan gadis itu pada tanganku mengendur. Aku melepaskan komoceng di genggaman, lalu langsung berbalik tak mengindahkan ekspresi yang sedang dipasangnya barangkali raut wajah itu berubah. Kupegangi depan kepalaku sampai sampai aku memasuki kamar dan menjatuhkan badan di atas kasur.
Masalah akan masa lalu kembali menghantuiku, membuatku bingung setengah mati untuk membandingkannya dengan kenyataan yang kini aku hadapi. Rasa sakit yang setengah semu menimbulkan ketidaknyamanan kronis yang aku tak tahu sampai kapan bisa kukesampingkan ini.
Jika memang itu adalah sebuah kesalahannya
Jika memang itu adalah kesalahan terbesarnya
Mengapa aku yang merasakan perih dan derita sakitnya?
Tema: kesalahan terbesar.
I hope it's fulfilled~
Walau sebenarnya aku gatahu aku nulis apa lagi ini haha. :(
KAMU SEDANG MEMBACA
DWC2020: Scarving for Sacrifice in 30 Days
AcakIsinya nggak se-horror sampulnya, kok. DWC 2020 Copyright © July 2020 by compartisan on Wattpad