Dia Bicara

13 1 0
                                    

Sore yang biasa di waktu pulang sekolah. Ryan, seorang remaja yang masih termasuk baru SMA, sudah berpakaian santai rumah di ruang dapur sederhana tempat tinggalnya. Sekarang ia hanya melakukan hal tak penting yang biasanya manusia lakukan, mungkin. Ryan meraih teko yang terletak di meja untuk menuang air di dalamnya ke gelas yang baru saja ia ambil. Kala air itu memancur ke dalam gelas, Ryan melihat tutup teko bagian atas terbuka sedikit.

"Bagaimana harimu? Lelah?" tanya sebuah suara tiba-tiba. Asalnya dekat.

Ryan diam sebentar. Gelas di depannya sudah penuh. Ia ingin memastikan dari mana suara itu berasal.

"Siapa yang bicara?" tanyanya biasa, sama sekali tidak menunjukkan kewaspadaan. Sepertinya lelaki itu tidak merasa bahwa akan ada bahaya yang datang di sekitar.

"Aku." Suara tutup teko tertutup dan terbuka lagi terdengar. Ryan melihat gerak benda tersebut.

"Teko?" Ia memasang wajah polos.

"Iya."

Lelaki itu terdiam sesaat lagi. Ia meraih kursi terdekat untuk diduduki, kemudian mengambil gelas minumannya. "Oh."

"Kau tidak terkejut?" tanya teko yang tutupnya terbuka-tertutup itu.

Ryan menjawab dengan wajah biasa, "Ah, tidak. Belakangan aku sudah mengalami hal aneh, jadi aku tidak kaget dengan apa pun lagi." Ia meminum air putih di genggaman seteguk. "Jadi, kau bisa apa? Teko ajaib?" tanya Ryan seperti menantang. Kelopak matanya turun sedikit. "Apa kalau kugosok kau akan keluar berwujud asap berupa jin?"

"Tidak ... aku bukan jin," kata teko itu bersuara lemah. "Aku teko, yang biasa kau gunakan untuk masak air."

"Oh, iya, soal itu. Apa kau tidak kepanasan ketika digunakan untuk merebus air?" Mata Ryan melebar. Kedua alisnya naik.

"Tidak, dong. Aku kan teko," jawab sang teko singkat. Ryan melamun sesaat.

"Oh, iya." Tiba-tiba ia memukul kepala pelan. "Kenapa aku? Apa aku jadi bodoh karena hal-hal yang terjadi belakangan ini?"

"Memangnya apa yang terjadi?" tanya teko ingin tahu.

Ryan menyesap minumannya lagi. "Aku tidak bisa cerita."

"Kenapa?" Ada nada kecewa terdengar dari benda hidup itu.

"Lebih baik tidak banyak yang mengetahuinya, meski teko sepele seperti dirimu." Ryan menatap teko di meja itu agak nyalang. Mendengar hal itu, sang teko tampak mengeluarkan air mata deras imajiner.

"Padahal aku ... ingin menjadi pendengar yang baik ...." Teko itu sedikit merengek.

Ryan meletakkan gelas minumnya di meja. "Oh, jadi fungsimu yang seperti itu?" Ryan sambil berpikir ketika mengucapkannya. "Selain itu, apalagi? Selain fungsi normalmu untuk memasak." Lelaki itu memundurkan kursi, membuat tempat dudukan itu naik turun dengan kedua kaki depannya tak menapak di atas lantai.

"Aku ... bisa jadi pendengar yang baik," kata teko sempat memberi jeda, seperti ragu-ragu.

Keadaan di antara mereka berdua menjadi hening. Ryan mendekatkan kursinya pada meja, lalu memandang teko di hadapannya dengan tundukan kepala. "Hanya itu?"

"Y-Ya–" Teko itu gugup menjawab. Ia tampak tidak terima disikapi oleh Ryan begitu, tetapi ia sendiri tak tahu cara untuk mendebat.

"Yah," Ryan menolehkan kepala ke arah lain. "Terkadang memang begitu, sih. Di saat manusia tidak bisa berkeluh kesah ke siapa-siapa, ia jadi berbicara dengan benda mati."

Mendengar hal tersebut, teko itu tampaknya menjadi lebih semangat dan menyahut mengiyakan. "Iya, begitu! Nah, keberadaanku sekarang yang hidup ini untuk melegakan perasaan buruk yang sedang dirasakan manusia. Kini aku bisa berbicara, sehingga manusia akan bisa merasa lebih ditemani."

Ryan kembali meraih gelas minumannya, lalu mendorong kursinya sedikit ke belakang dengan kaki. Lelaki itu menatap rendah dengan wajah yang lebih kaku saat ini.

"Oh." Lelaki itu meneguk air lagi. Ia lantas menatap lurus ke arah teko itu terletak. "Kalau begitu kau salah orang."

"A-A .... Jangan bilang begitu!" seru teko itu pada Ryan.

"Benar, kok. Aku tak punya sesuatu untuk dikeluhkan atau diceritakan. Bagaimana kalau kau saja yang bercerita?"

"A ... Apa?" Teko itu mendadak bingung. Ini kali pertama ia menemui manusia ganjil seperti Ryan.

"Bagaimana hidupmu selama ini? Digunakan untuk memasak air oleh kami sekeluarga, dan ... oh, sepertinya adik-adikku suka bersaksi di dapur ini. Apa kau berkenan menceritakannya?" Ia memasang pose berpikir di tengah-tengah ucapan dan raut wajahnya agak mengendur. Teko itu tampak bimbang sesaat, tetapi pada akhirnya pun ia memulai ceritanya.

"Baiklah, kalau begitu ...."

.

.

.

" ... Lalu aku menghabiskan waktu mendengar ceritanya," ucap Ryan di hadapan teman-temannya. Kelima teman seperjuangan dunia cermin menyimak cerita Ryan hingga tuntas. Mereka tampak tidak terkejut sama sekali, lantaran memiliki pengalaman yang kurang lebih sama dengan Ryan (tentu bukan artian mengenai teko yang lelaki itu ceritakan).

"Tumben," kata Alidya yang sebelumnya menduga kalau Ryan tidak akan menghabiskan waktu secara percuma begitu.

"Habisnya, kegiatan kita begini-begini saja, toh? Jadi soreku waktu itu bukan apa-apa," katanya membalas. "Proses belajar-mengajar di kelas juga berasa surreal entah sejak kapan, aku tak ingat." Ia menjatuhkan setengah badannya di atas meja keramik kantin, berpose tidur.

Ian yang duduk di depan Ryan mengeluarkan suara. "Apa waktu sudah berjalan?"

"Entahlah." Tria tidak malu untuk menjawab tak tahu, soalnya urusan di atas kuasa pencipta itu sudah bukan ranahnya untuk memahami. "Setidaknya, ini tidak seperti sebelumnya ketika waktu benar-benar berhenti. Masih seperti terasa terjebak dalam lingkaran, sih, tetapi tampaknya semakin hari ada sesuatu yang berbeda."

"Apa kita masih bisa masuk ke dunia cermin?" tanya Ryan dengan muka seperti orang baru bangun tidur.

"Masih, keadaan di sana masih sama saja." Ya, tentu. Dunia kelam hitam kemerahan, dan berisi makhluk astral yang asal-usulnya masih dipertanyakan.

Ryan hendak berpendapat sesuatu, tetapi seketika ide di dalam pikirannya sirna. Ia kembali pada pose tidur di atas meja.

"Ya, sudah ... ditunggu saja," ujar Ian menutup. Kelima temannya mengangguk.

Hahaha, masih nyambung sama yang sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hahaha, masih nyambung sama yang sebelumnya. Tema kali ini, teko ajaib. Aku langsung terbayang begini dan selama nulis juga.

Allahuakbar, Happy Eid Adha!

DWC2020: Scarving for Sacrifice in 30 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang