Four

287 30 8
                                    


Prilly memandang kearah luar kaca jendela, dimana banyak lalu lalang kendaraan yang memenuhi kota, dari lantai atas apartement ia melihat Dikta dengan sesuatu dipunggungnya berjalan meninggalkan kawasan apartement, lelaki itu katanya pergi bekerja dan meninggalkan Jimbon dan Prilly.

Tubuhnya terasa bergetar, perutnya sakit. Ia tak terbiasa dengan keadaan seperti ini, merasa kelaparan, peri tak pernah lapar, tak pernah makan. Berbeda dengan manusia yang harus mengkonsumsi sesuatu untuk memperoleh tenaga. Sekelilingnya terasa asing, ia tidak tau letak makanan disini, bahkan ia tidak tau apa yang seharusnya dia makan, melihat kucing itu memakan makanannya membuat Prilly semakin kelaparan. Belum lagi tuannya menyuruhnya membersihkan isi apartementnya yang seperti kapal pecah.
Tampan-tampan jorok pikir Prilly.

Dengan cekatan Prilly sedikit demi sedikit membersihkan yang bisa dibersihkan, merapikan barang-barang yang berhamburan dan menyusunnya ketempat semula. Bertahun-tahun bertugas di dunia manusia membuat Prilly bersyukur, pengalaman yang membuatnya sedikit tahu barang-barang manusia serta fungsinya.

Lelah rasanya ditambah perutnya yang sakit membuat dia membaringkan tubuh diatas lantai, Tory datang menghampirinya sambil mengeong mengeluarkan suara kucingnya.

"Tak apa Tory, aku hanya sedikit lelah," ucap Prilly memejamkan matanya.

*****

"Ini posisi jarinya gimana, Kak Dikta?" tanya  Vega, salah satu anak didik Dikta yang menatap orang didepannya heran.

"Woi Kak! Ngelamun aja, mikirin Jimbon ya?" tanyanya.

"Ehh. Enggak, kenapa? Kamu tanya apa?"

"Ini posisi jarinya gimana?"

"ini ibu jarinya di senar paling atas buat metik senar bass nomor 6, 5, atau 4. Kemudian jari telunjuk kamu buat senar nomor 3, jari tengah nomor 2, dan jari manis buat senar nomor 1," jelas Dikta panjang lebar.

"Ohh iya kak!"

Dikta kembali berfikir sejenak, bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan gadis itu hanya berdua dengan Jimbon. Perasaannya tak enak, ia khawatir dengan Jimbon, hati kecilnya juga khawatir dengan gadis itu, meskipun kemudian ia menyangkalnya.

"Win gue izin pulang duluan ya, ada urusan sebentar. Entar gue izin lagi sama bang Ifan."
Dikta menghampiri Erwin yang sedang menyetel gitar elektriknya.

"Tumben-tumbenan lo izin tanpa alasan yang jelas. Kencan ya?" tanya Erwin.

"Kencan pala lo! Ada urusan pribadi entar gue cerita deh."

"Yaudah ntar malem gue mampir, Dik!"

"Jangan!! Ehh maksudnya gue gak ada di apartement, gue kerumah ortu. Kapan-kapan ajalah lu mampir ya! Gue pergi dulu."

"Curiga gue sama lo," ucap Erwin sambil tertawa menatap gelagat aneh Dikta.

Bukan pulang ke apartement, Dikta menuju pusat perbelanjaan, menuju toko-toko yang menjual pakaian wanita. Sesudah membeli baju dan celana, Dikta menuju sebuah toko tujuan terakhirnya. Ketika ingin memasukinya Dikta berhenti melangkah dan menepuk dahinya.

"Ini gue belinya gimana? Masa iya seorang selebgram masuk ke toko pakaian dalam wanita. Bisa ancur citra gue, astaga tu cewe nyusahin hidup gue banget, cobaan apalagi ini ya Tuhan ...."
Tak kehabisan akal ia memasang maskernya dan mengganti kacamatanya menjadi kacamata hitam. Dengan cepat mengambil berpasang warna dan kepalanya kembali sakit mengingat tak tau ukuran yang akan ia beli. Ketika sampai mengantri dikasir ia mendengar seseorang berkata dibelakangnya.

"Masnya ini artis ya? Kek pernah liat," tanya perempuan itu.
Untunglah dia sudah melakukan pembayaran dan dengan cepat pergi tak menghiraukan pertanyaan wanita tadi.

MiraculousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang