"Kenapa nganterin aku pulang...?" suaraku terasa asing di telingaku sendiri. Punggungnya yang semula bergerak menjauh, kini berhenti.
Hening. Sepertinya ia tak berminat untuk menjawab pertanyaanku barusan. Sekedar menoleh pun ia enggan. Ku seret langkahku mendekatinya. Satu langkah, dua langkah, dan kurasakan kecepatan detak jantungku semakin bertambah.
"Maaf Kak kalo Kakak kesinggung, hehe harusnya aku ngucapin terimakasih kan ya, bukannya nanya kaya gitu," ucapku mencoba mencairkan suasana
Segera ku lepaskan jaket biru navy yang ku kenakan dan ganti memasangnya pada kedua pundak di hadapanku. Sekilas, dapat ku lihat kedua matanya yang menatapku tajam, aku hanya tersenyum membalas,
"Makasih buat jemputannya, makasih juga buat jaketnya...," aku menggantungkan kalimatku, menunggu responnya, mencari kedua matanya. Nihil. Ia masih mematung diam dengan pandangan acuh ke ujung jalan.
"Aku masuk dulu ya Kak," akhirnya aku menyerah untuk mendapatkan perhatiannya, tanpa berusaha untuk memandangnya lagi, aku segera melangkahkan kakiku menuju pagar yang sempat aku buka separuh tadi
"Celine..,"
Sontak aku berhenti bergerak, meyakinkan diriku bahwa itu benar-benar suaranya, bukan hanya ilusi dari imajinasiku sendiri. Sebelum aku sempat untuk menolehkan kepalaku, aku merasakan tarikan halus pada lengan kananku dan detik berikutnya dapat kurasakan bau parfum permen karet yang tajam sekaligus memabukkan menyerbu indra penciumanku.
Aku tersentak ke belakang menyadari posisiku yang kini berada dalam pelukannya. Tangan kanannya mendekap bahuku kuat, menyadari usahaku untuk melepaskan pelukannya.
"Dasar bodoh," lirihnya jelas di telingaku
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Meski hampir setahun aku mengenalnya, tetapi, rasanya asing bila mendengar suaranya dalam jarak sedekat ini. Dan terlebih dalam posisi seperti ini pula......! Tapi tunggu, apa dia baru saja menyebutku, bodoh?
"Apa.....? Kakak bilang apa tadi...?" cecarku sebal. Ia melepaskan pelukannya dan kedua tangannya menyentuh pundakku. Sekali lagi aku terkejut akan sikapnya yang tak tertebak. Sedikit rasa aneh masih menyergapku saat ia melepaskan pelukannya secara tiba-tiba. Tubuhku seperti menolak untuk menjauh dari dekapannya.
Astaga Celine, kendalikan dirimu!
Ia menunduk. Mensejajarkan pandangan kami.
"Kau.. Bodoh,"
Sebelum aku sempat protes ia tertawa kecil, " Tadi kamu nanya apa? Kenapa jemput kamu....? Haha.. Sekarang aku tanya kamu, menurutmu kenapa aku harus repot-repot jemput kamu malem-malem gini...?"
"Ya mana aku tau, kakak lagi ngga ada kerjaan kali," jawabku asal. Setelah mendengar jawabanku, ia tertawa terbahak-bahak
Aku memukul lengannya kuat-kuat, menyuruhnya berhenti tertawa dan bersikap serius. Tak berapa lama, ia kembali normal, kedua tangannya kini berada di saku jeansnya, tidak lagi berada di pundakku.
"Karena aku pengen,"
"Pengen...?" tanyaku bingung,
"Iya aku lagi pengen ketemu sama kamu, mankanya aku jemput kamu,"
Wajahku yang semula penuh tanda tanya kini berubah total. Suasana hening khas malam hari di telingaku kini berubah menjadi degup keras yang berasal dari jantungku sendiri.
Ah orang di depanku ini memang sangat ahli mempermainkan ritme jantung milikku sendiri.
"Haha mukanya kenapa tuh...? Kok merah semua gitu...?"
![](https://img.wattpad.com/cover/29586202-288-k553613.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
RomanceBagi Celine Oktaviani, masa lalu bukanlah hal yang tabu untuk diungkit kembali. Selama empat tahun ia telah "hidup" bersama seseorang dari masa lalunya melalui mimpi. Mimpi-mimpi itulah yang menjadikan dirinya yakin bahwa seseorang dari masa lalunya...