"Davin Ananta, ketua ekskul futsal yang dulu sempat kamu wawancarai, kamu ingat...?
Tubuh Azka menegang sempurna. Kata-kata Celine tadi terasa sangat jelas di telinganya, terlalu jelas hingga sekarang seperti ada desingan aneh di indra pendengarannya.
Dengan langkah terseok, ia bangkit menuju kursi taman yang tadi ia duduki dengan Celine. Kedua tangannya mengusap wajahnya dengan kasar. Sebentar kemudian, terdengar suara tawanya yang makin lama makin nyaring.
Mungkin ia mulai gila. Tapi ia tidak peduli. Toh, Azka bukannya menertawai Celine atau Davin, ia hanya menertawai takdir yang dengan mudahnya menggiring mereka bertiga dalam sebuah hubungan yang rumit.
Padahal sejak tadi ia terus-terusan memohon dengan sangat. Sejak Celine mendadak bertingkah aneh ketika mendengar nama Davin disebut, hatinya terlebih dahulu tertunduk, menguntai doa bahwa Davin yang membuat Celinenya seperti itu, bukanlah Davin yang itu.
Astaga, demi Tuhan banyak sekali orang yang bernama Davin....! Kenapa harus seperti ini...?
"Argh...!!" Azka menarik rambutnya kuat-kuat, tawanya mulai reda dan kini digantikan oleh kesedihan luar biasa yang memang sengaja tidak ia sembunyikan.
Ia ingin sekali mengingkari kenyataan, menyuruh Celine untuk mengaku bahwa tadi ia hanya bercanda, atau Azka hanya salah dengar. Tapi, kenyataan itu terlalu pahit, hingga meskipun ia mencoba untuk mengenyahkannya, rasanya ketakutannya malah semakin berlipat.
Akhirnya, Azka memilih untuk melepas luaran berwarna hijau cerah yang ia kenakan, hingga hanya tersisa kaos katun berwarna putih yang menutupi tubuh bagian atasnya. Ia bangkit berdiri dan mulai berjalan menjauhi gedung resepsi. Hingga akhirnya, langkahnya berhenti di tempat parkir, tepat di depan Audy hitam milik Radit.
Tangan kanannya merogoh saku celana panjangnya dan mengeluarkan kunci mobil dengan gantungan goofy goober yang cukup besar. Ia menekan tombol kunci mobil dan langsung membuka pintu depan penumpang. Sebelum menutup pintu, ia menurunkan jendelanya sedikit dan mengatur kursinya sedikit ke belakang.
Beberapa menit kemudian, ia mulai tertidur. Menuju dunia mimpi yang menurutnya lebih sederhana dibandingkan dengan dunianya.
***
Perhatian Celine benar-benar harus di pertanyakan. Sejak ia masuk kembali ke gedung resepsi, telah tiga kali ia menubruk tamu undangan dan sekali menyapa orang yang salah karena orang tersebut sekilas mirip Abangnya.
Kini, ia melarikan diri ke kamar mandi sebelum ada orang keempat yang ia tubruk. Ia menyalakan keran air dan mencuci tangannya, sekilas ia melirik ke cermin besar yang ada di hadapannya. Ia mengamati wajahnya yang masih full makeup dan tubuhnya yang berbalut kebaya berwarna hijau seperti yang Azka kenakan tadi.
Azka.... kemana pria itu....? Kenapa ia tidak mengikutinya kembali ke gedung...?
Fikiran Celine masih dipenuhi dengan Azka ketika salah satu bilik toilet di belakangnya terbuka dan menampilkan sosok gadis berusia 22 tahunan dengan little black dress yang cocok dengan tubuh mungilnya,
"Ya Tuhan....! Celine Oktaviani...!"
Celine mendongak kembali menghadap cermin, dan dari sana, terpantulah sosok gadis yang tadi meneriakkan namanya,
"Astaga...! Fila...!" pekik Celine tak kalah histerisnya. Ia langsung berbalik dan memeluk sahabat SMA nya itu erat.
"Aduh, aku cariin kamu dari tadi tau...! Kata Bang Radit kamu tadi keluar, eh ternyata ketemunya d toilet," canda Fila dalam pelukan Celine

KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
RomanceBagi Celine Oktaviani, masa lalu bukanlah hal yang tabu untuk diungkit kembali. Selama empat tahun ia telah "hidup" bersama seseorang dari masa lalunya melalui mimpi. Mimpi-mimpi itulah yang menjadikan dirinya yakin bahwa seseorang dari masa lalunya...