Bab 2

227 7 4
                                    

                                                                                ***

Celine terbangun dari tidur singkatnya. Ia melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 08.45, ternyata ia hanya tertidur 15 menit. Kursi di sebelahnya kosong, mungkin itu tadi alasan Celine memberanikan diri untuk tidur sejenak. Karena sejak kecil, ia tak pernah bisa tidur dengan orang asing disebelahnya. 

Pandangannya kini beralih ke jendela di sebelah kirinya. Setengah jam lagi ia akan tiba di Semarang, kampung halamannya.

Apabila semua orang bahagia apabila kembali ke kampung halaman, tetapi tidak dengannya. Ya dia memang bahagia karena akan bertemu dengan keluarga dan sanak saudaranya, tetapi ada satu ketakutan yang selalu menghantuinya apabila ia berada di sana, ketakutan karena di kota Semarang semua penyiksaan batin ini bermula, ketakutan karena kota inilah yang menjadi latar dari banyak mimpi buruknya. 

Akan tetapi ia juga menyulam asa setiap ia kembali ke kota ini, asa untuk sebuah pertemuan yang tidak berani ia bayangkan sekaligus setengah mati ia nantikan. Ya, asa untuk seorang Davin. 

"Heh bocah, nangis di tempat lain kek sana,"

Aku terdiam. Bagaimana orang ini tahu aku menangis....? Sedikitpun aku tak mengeluarkan isakan atau teriakan, aku hanya menyentuhkan jidatku pada meja, mengurungnya dengan kedua lenganku dan membiarkan buliran air itu jatuh begitu saja. Dan sekarang, ada orang asing yang tiba-tiba tahu, didengar dari suaranya, ia jelas lelaki.

Entah mengapa fakta itu semakin membuatku sungkan untuk mengangkat kepalaku, karena tidak mungkin kan menampakkan wajah berurai air mata pada orang asing...?
Apalagi pada lawan jenis. BIG NO!

"Abaikan saja Celine toh nanti dia juga akan pergi dengan sendirinya,"tekanku dalam hati

Suara kursi yang ditarik membuat khayalanku terhenti. Demi meja kantin yang panjang dan kosong, kenapa orang asing ini tidak pergi saja...? 

"Belom selese nangisnya....? Jangan lama-lama, udah sore nih," lagi-lagi terdengar suara bariton Jadi lelaki asing ini bukan hanya lelaki biasa, tetapi lelaki yang suka ikut campur masalah orang.

Mau tak mau aku mengangkat wajahku- setelah memastikan tidak ada sedikitpun jejak-jejak airmata di wajahku- , dan pandanganku langsung meneliti orang asing yang duduk tepat di hadapanku ini.

Oke jadi dia bukan hanya lelaki yang suka ikut campur masalah orang, tetapi lelaki yang suka ikut campur masalah orang dan tampan. 

Sadar akan tindakanku yang memperhatikannya, lelaki di hadapanku ini mengernyit heran,

"Kenapa...? Belom pernah liat cowok cakep...?"

Ugh. Aku membelalakkan kedua mataku, mulutku siap melancarkan protes sebelum akhirnya aku sadar bahwa itu tidak berguna. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi, mengingat laki-laki ini tahu "hal memalukan" yang baru saja aku lakukan dan juga untuk membuktikan bahwa aku masih memiliki rasa malu. 

Sesaat setelah aku berbalik dan meninggalkan lelaki itu tanpa salam sapaan sedikitpun, aku merasa aneh. Bukan apa, tapi, kenapa dia diam saja....? Padahal tadi ia begitu bersemangat menggangguku.

"Astaga Celine memangnya apa yang kamu harapkan...? Lelaki itu akan menahanmu dan mengantarkanmu pulang...? Hey dia orang asing...! Oke orang asing yang tampan, tetapi tetap saja dia orang asing...! Tapi ini juga kesempatan emas bukan....? Tak ada ceritanya pangeran datang dua kali dalam kisah putri, berbaliklah, tanyakan sesuatu" 

Langkahku terhenti tiba-tiba. Fikiran untuk berbalik dan melanjutkan percakapan dengan lelaki tadi seketika menjadi ide paling cemerlang nan jenius yang pernah aku fikirkan hari ini. Tanpa berpikir panjang lagi aku segera berbalik menuju meja kantin yang tadi aku tempati. Aku hampir berteriak bahagia melihat lelaki asing itu masih disana,

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang