Langit
Gue tahu, gue gak sepantasnya menyimpulkan sesuatu dari apa yang gue lihat saja. Tapi terkadang, beberapa hal memang sangat mudah dinilai tanpa harus ditanyakan kebenarannya. Contohnya Kelana, dari lamunan dan hembusan napas yang terus dia keluarkan sejak tadi sudah cukup menjadi bukti bahwa perempuan itu memang sendiri.
Tangannya yang belum berhenti bergetar terus menekan tombol power pada ponselnya, seperti berharap bahwa sesuatu akan datang kesana meski sekecil pesan 'hai' sekalipun. Dia masih tersengguk pelan, tangisannya yang tadi cukup kencang dan menyakitkan, seolah dia memang seingin itu untuk diperhatikan.
"Lo belum mau balik?" Tanya gue yang sudah pegal bersandar pada tembok. Co-pilotnya udah dijemput sama salah satu koleganya yang ada di Bandung sini, tinggal tersisa Kelana didalam ruang perawatan yang tidak terlalu besar sendiri.
"Kayaknya lo duluan aja, Lang." Ucapnya yang sekarang tengah melihat jam di pergelangan tangannya. Pukul delapan lebih dua puluh, sudah cukup larut rupanya.
"Lo nunggu siapa?" Katakan gue sok akrab, tidak ada alasan yang membuat gue harus bersikap sejauh ini selain— hhhh ... gue gak tau, gue juga gak ngerti kenapa gue harus segininya.
Kepalanya menggeleng pelan, "Nggak ada." lirihnya.
"Yaudah, ayo pulang." Gue mendekat ke ranjang yang tengah dia duduki, "Lo gak bisa bangun? Gue bawain kursi roda kalo emang lo masih lemes."
"Bisa?" Oh, ternyata ini sebabnya kenapa dia gak mau beranjak dari ranjangnya. "Kaki gue gemeteran, gue takut jatoh kalo jalan."
Gue gak menjawab, memilih untuk keluar dari ruang perawatannya dan mengambil sebuah kursi roda yang memang ada tiga di klinik bandara. Samar-samar gue bisa melihat keramaian didepan pintu utama, biasanya sih yang bergerumul kayak gitu pasti para wartawan-wartawan lokal. Gue yakin kabar kecelakaan pesawat ini sudah sampai di telinga media, yakin banget.
"Bisa turun gak lo?" Tanya gue, mungkin kedengarannya kurang ramah, tapi jujur gue gak tau gimana caranya berbicara dengan nada penuh keramahan kepada orang-orang.
"Bisa." Katanya, dia menggeser kakinya perlahan hingga menggantung pada tepian ranjang. Gue mengambil sepatunya yang tergeletak di lantai lalu berjongkok untuk memakaikan sepasang benda itu di kakinya. "Eh, gak usah, gue—"
"Gak apa-apa, lo diem aja." Potong gue cepat, "Jelek kalo nyeker."
Perempuan itu meringsut perlahan setelah gue selesai memasangkan sepatunya. Ketika kakinya berhasil menapaki lantai, tubuhnya mendadak hilang keseimbangan sampai dia nyaris saja terjatuh jika saat itu gue tidak segera memegang kedua tangannya.
"Ck, lo kudu ke rumah sakit deh, Lan." Kaki gue menarik pijakan pada kursi roda itu hingga benda tersebut mendekat. Pelan sekali gue membantunya duduk, wajahnya masih pucat dengan ringisan yang terpajang di bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelana Langit Semesta
Fiksi PenggemarKelana tidak suka berkelana, namun belakangan dia sangat suka menjadi penikmat dari langit dan juga semesta. Pada langit, dia menemukan keindahan yang tertutupi oleh berjuta rahasia. Dan pada semesta, dia menemukan segala yang dia inginkan dari luas...