Genre: Religi
Jumlah Kata: 459
Isi:Aku berjalan dengan tenang, seraya mengikuti alunan musik yang terdengar. Pakaian gamis yang tengah kupakai, begitu sempurna.
Tirai-mirai yang terpasang di sepanjang koridor pun, tampak berterbangan karena angin.
Perlahan, senandung dari suaraku terdengar begitu damai. Aku berjalan menghampiri seorang pria yang tengah duduk sendiri.
"Mas," panggilku.
Aku tersenyum, kemudian berjalan menghampirinya. Memeluk lehernya dari belakang, wanginya tetap sama seperti dahulu, dan saat bersamaan, perasaanku begitu damai.
"Apa yang membuatku datang?" Aku terdiam sejenak.
Seketika pelukanku terlepas. Aku berdiri tegak, lalu melihatnya yang berbalik melihatku.
Terlihat senyum memancar di wajahnya. Dia seolah ingin mengatakan sesuatu yang sangat besar.
"Ikhlas, kau harus ikhlas, Rania."
Perasaanku tiba-tiba saja menjadi sakit! Sangat sakit! Bagaimana mungkin, dia menyuruhku ikhlas? Untuk apa?
Aku membulatkan mataku. Seketika napasku seolah tercekat, aku mundur sambil terus menggeleng.
Dunia seperti memiliki perputaran yang sangat cepat, perlahan berhenti, lalu seketika semua lenyap.
"Mas!" teriakku begitu kencang.
Aku melihat sekeliling, ternyata aku masih di kamar yang sama. Suaraku terdengar begitu serak, rasanya sangat lemas.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuatku mendongak, aku memberanikan diri untuk bersuara.
"Siapa?" tanyaku.
"Ini aku, Azha."
Dia segera membuka pintu, lalu berjalan menghampiriku. Yah, dia terus bersamaku semenjak kepergian Mas Hasan.
"Kita jalan, yuk!" ajaknya sambil terus memasang senyum lebar.
Aku mengangguk mengiakan perkataannya. Bukannya apa, ibu dan aku sudah sangat percaya padanya. Terbukti, dia tak pernah berbuat hal buruk dan selalu melindungiku.
"Baiklah, aku akan menunggumu di luar."
***
Aku menatap diriku di depan cermin. Menatap diri yang telah rapuh akan kehilangannya, pria yang sangat kusayangi. Permintaan ikhlas itu, aku masih belum bisa.
Aku menghela napas, lalu menghapus air mata yang sempat terjatuh. Aku beranjak menuju luar menemui Azha.
"Azh? Aku siap," ucapku lalu menghampirinya.
Azha berdiri sambil tersenyum. Dia mengajakku untuk berjalan menuju luar tanpa berpegangan, mengingat siapa aku, dan siapa dia.
Tak lama, mobil berjalan meninggalkan pekarangan rumah. Aku hanya bisa diam di mobil, membayangkan kenangan yang pernah kubuat.
Perlahan, mobil berhenti. Aku segera turun diikuti oleh Azha. Suasana di sini cukup tenang, terlebih banyak bunga dan kupu-kupu.
***
Aku duduk di salah satu kursi, pandanganku terus melihat bunga-bunga itu, hingga buket bunga lili dipadu dengan mawar berada di depanku.
Awalnya, aku sangat senang dengan ini, tetapi Azha membuatku terkejut bukan main.
"Rania, izinkan aku untuk menjadi orang yang paling penting, setelah suamimu dahulu." Dia berucap dan penuh pertimbangan.
Aku melihat dia sangat serius. Hal yang pernah kulihat beberapa tahun lalu, dan kini Azha memperlihatkannya juga.
Untuk sesaat, mata ini harus terpejam. Seluruh kenangan masa lalu terbuka dengan lebar, aku menitikkan air mata.
"Jangan menangis, Rania."
Aku kembali membuka mata. Ikhlasku adalah damai untuknya di sana. Hari ini, aku mencoba untuk membuka lembaran baru dengan menerima Azha.
Senyum kami terukir, perasaan senangnya membuatku meyakinkan pilihan atas dirinya. Terima kasih, atas perhatianmu.
-Pitri Ani-
Kersik, 29 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cermin
RandomHasil pemikiran yang disusun, hingga menjadi Kumpulan Cermin. By : Pitri Ani Senja_Berbisik