Malam itu kau ucap kebenaran. Kebenaran yang jauh dari nalarku. Aku tak menyangka kau demikian. Aku pun tak menampik sakit dan kecewa. Namun, iba pun tak bisa jauh dariku. Aku dilema. Kasihan sekaligus sedih.
Tuhan, mengapa Kau limpahkan semua ini kepadaku?
Mungkin begitu nada tanyamu selama ini. Selama kau menjalani hari penuh putus asa dan frustrasi.
Mengapa kau tidak jujur dari dulu, mengapa baru sekarang?
Kira-kira begitu nada penyesalan dariku yang baru mengetahuinya sekarang. Seandainya aku yang pertama tahu, akan kubawa kau ke jalan yang lebih benar.
Siapa yang harus disalahkan jika sudah begini? Semua ini benar, bukan? Kau yang mengakuinya sendiri. Kau yang mengucapkannya sendiri. Apa aku harus percaya? Iya, aku harus percaya. Benar dirimu demikian.
Siapa pun dia, aku tak bisa marah. Semua itu terjadi begitu saja. Aku tak bisa protes, toh selama ini aku tak bisa di sampingmu. Dia yang selalu ada, mengisi kekosongan harimu tanpaku, memberi kenyamanan kedua dan kau lupa akan diriku, hingga akhirnya itu terjadi.
Sudahlah, aku ikhlas dengan apa adanya dirimu. Jika Tuhan berkenan menjodohkan kita, aku yakin akan ada jalan untuk kita.
Tak ada rasa selain sakit dan sedih. Aku berusaha tegar dengan segenap kepercayaan padamu yang masih kumiliki. Aku berusaha kokoh dengan segumpal rasa padamu yang masih mengental. Tak mudah melenyapkan perasaan yang sudah menahun dalam hitungan detik.
Doaku, semoga kau lekas membaik. Mari kembali pada kebenaran dan bangun kehidupan baru.
Sambiut, 15 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Coretan Penaku
RandomKumpulan puisi, quotes, dan curahan hati yang ditulis oleh tangan kecil ini. Hanya sebagai koleksi dan tempat untuk menuangkan ide. Ada banyak hal yang tak bisa kusampaikan padamu, di masa kini atau masa depan. Dan jika saja engkau berembus sampai k...