Semua akan berlalu, saat kegelisahan berubah menjadi kebahagiaan. —OmbrophobiaHappy reading! ❤
*"Di mana arah rumah, lo?" tanya Reza sembari fokus menyetir. Alunan lagu mulai memecah keheningan. Hujan mulai reda seiring berjalannya waktu. Saat ini, Dita sudah merasa lebih tenang dari sebelumnya.
Dita menoleh pada Reza. Ia menunjuk jalan dengan gerakan tangannya. Dita masih enggan untuk berbicara, karena sesak yang masih terasa.
Reza mengangguk. Ia mengerti dengan keadaan Dita. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Di sekitar jalan, ada banyak anak kecil yang tengah bermain hujan-hujanan bersama temannya. Reza jadi ingat sesuatu, dulu juga ia pernah melakukannya. Reza tersenyum saat mengingat masa kecilnya.
Rentetan memori ingatan Reza memang tak sepenuhnya ia ingat. Ada beberapa hal yang Reza lupakan dan lewatkan, tetapi tidak apa, Reza akan mengingat semuanya saat waktunya telah tiba.
Dita masih tetap tidak bergeming. Namun sesekali matanya melirik ka arah luar kaca mobil. Dalam hati, ia terus merapalkan doa agar semuanya akan selalu baik-baik saja.
Matahari perlahan mulai muncul, Dita tersenyum.
"Akhirnya," gumam Dita. Matanya melihat ke langit dari balik kaca.
Reza tak sengaja melihat Dita tersenyum. Ia pun ikut tersenyum senang. Rasanya, bahagia Dita adalah bahagianya juga.
"Belok kiri." Dita menunjuk dengan pandangan yang lurus ke depan.
"Iya, gue tau. Tadi, 'kan, lo udah nunjukin," tukasnya.
"Aku takut kamu lupa aja."
Reza terkekeh. "Gak mungkin, masa orang ganteng kaya gue pikun, sih? Mustahil!"
Dita mengerling sebal. "Ko, bisa, ya, kamu pede banget?"
"Jelas, pede itu hak segala bangsa. Gak pede gak sukses, gue pede gue bangga!"
Karena malas berdebat, akhirnya Dita meng-iyakan saja omongan Reza. Dari pada berlanjut panjang.
Mobil Reza kini sudah sampai di depan rumah Dita. Rumah yang minimalis, tetapi sejuk untuk di pandang. Rumah Dita berwarna hijau toska, di depannya ada pagar besi yang dihiasi dengan rumput-rumput dan pot-pot bunga kecil.
Di samping rumahnya, ada kebun kecil yang diperkirakan hanya seluas satu kolam renang. Kecil, namun membuat nyaman.
Dita turun. Ia membuka seatbelt terlebih dahulu. Reza mengikuti Dita dari belakang.
"Makasih, ya, udah mau anterin aku," ucapnya tulus.
"Iya, sama-sama. Lain kali, kalo lo butuh apa-apa, lo bisa panggil gue," balasnya dengan tangan yang memegang kunci mobil.
"Yaudah kalo gitu, gue pergi dulu, ya?"
Saat Reza hendak pergi, entah keberanian dari mana, Dita mencekalnya.
"Mmm ... ga–ga–gak mau mampir dulu?" tawarnya gugup. Dita salah tingkah sekarang. Mengapa ia jadi seperti ini? Jadi, kan, dia sendiri yang malu sekarang.
Dita terus menggerutu dalam hati.
Reza tersenyum geli. "Emangnya boleh, ni?" godanya semakin membuat Dita gugup di tempatnya.
"Bo–bo–leh, tapi kalo kamu gak mau, gak papa." Dita mengaitkan rambutnya ke belakang.
"Yaudah, gue mampir sebentar. Lagian tenggorokan gue kering, nih," ucap Reza mengelus-ngelus tenggorokannya, pertanda ia memberi kode.

KAMU SEDANG MEMBACA
OMBROPHOBIA [TERBIT]
Dla nastolatkówSebagian part ada yang diapus, xixixi. Tapi kalo mau baca, ya, silakan ... xixixixixixi - Anindhita Marsyela. Gadis manis yang selalu menjadi bahan olokan oleh teman-temannya. Ia dikucilkan dan dianggap tidak ada. Tangisan, rintihan, kini sudah menj...