1. Di halte

124 13 44
                                    

Tempiasan sisa air hujan yang mengalir dari atap halte menyentuh telapak tangannya. Gadis itu terlihat resah karena angkutan umum yang menuju rumahnya tak juga terlihat.

"Gak mungkin aku pulang pakai angkot," gumamnya teringat pesan kakaknya yang melarang gadis itu--agar tidak menaiki angkot yang semakin hari semakin ramai dibicarakan media massa sebab pelecehan seksual di indonesia yang kian hari kian meningkat.

  "Biar aku yang antar," sambung seseorang, Lifia menoleh dan terkejut ketika menemukan laki-laki bertubuh atletis berdiri tepat disampingnya.

"Hujan gini jakarta macetnya parah, angkutan umum pasti melintas lebih sore dari biasanya. Kalau kamu gak keberatan biar saya temeni naik angkot, Saya rasa kita satu arah."

Lifia yang bingung ingin berkata apa pun memilih mengangguk. Entah kenapa lelaki yang baru ditemukannya hari ini berhasil mencuri kepercayaan dalam sekejap mata. Selain lambang seragam mereka yang sama, Fia juga percaya bahwa laki-laki dengan bet tiga garis di punggungnya itu merupakan orang baik-baik.

Tak lama angkot berwarna biru berhenti tepat di depan mereka, seorang supir dengan rambut nyaris memutih menyapa mereka.

"Jalan baru dek?"

"Iya bang," balas pria tadi lalu menarik tangan Fia untuk menaiki angkot tanpa penumpang itu segera.  Gadis itu duduk menghadap pria yang belum ia ketahui namanya, dengan segenap keberanian yang sejak tadi ia kumpulkan.

"K-kak?" ujarnya berusaha mencairkan kebekuan yang sejak tadi menghantui mereka berdua. Laki-laki itu menoleh, satu alisnya terangkat dengan sorot teduh yang lekat memandangi wajah Lifia.

"Kakak tau rumah aku?" sambung Lifia, hati-hati.

"Gak cuma ngerasa searah aja."

"Ohh," Lifia menyimpulkan senyum lalu melemparkan pandangannya pada luar jendela belakang sana, menatap seliweran lalu lalang kendaraan nan kian ramai sejak berhentinya hujan.

Delapan menit berlalu "Pak kiri pak," pinta laki-laki itu lalu turun dari angkot. "Ayo Fia turun!" sambungnya membuat gadis itu tertegun berkali-kali. Tak hanya tau nama Lifia, laki-laki itu juga tau dimana letak gangnya. 

Setelah membayar ongkos seharga tiga ribu rupiah Lifia pun turun, ikut berdiri dihadapan laki-laki itu--yang kini tersenyum padanya.

"Rumah kakak dimana?" tanya Lifia basa-basi.

"Bukan rumah tapi tujuan," ralatnya lalu melangkah mendului Lifia yang masih kebingungan.

Lifia tak gentar, penasarannya belum tuntas "Kalau gitu tujuan kakak kemana?" tanyanya sembari melangkah beriringan.

"Searah kok, nanti kamu pasti tau."

Lifia menghela napas, berusaha memberi udara untuk kerongkongannya yang kian mengering.

"Em kak..."

Si pria mengangkat kepalanya, keduanya menghentikan langkah di depan sebuah rumah minimalis dengan halaman yang dipenuhi rerumputan hijau.

"Kakak tau nama saya dari mana?" selidiknya hati-hati.

"Kenalin, nama aku Adibya Sapta Prasetya!" bukannya menjawab laki-laki itu malah mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Dengan kepala yang berkelebat banyak pertanyaan, Lifia pun menjabat dan memperjelas kembali namanya.

"Lifia Hana..."

"Vebiola," sambung laki-laki itu, membuat Lifia tercengang untuk kesekian kalinya. Dari mana Adib mengetahui nama lengkapnya yang bahkan Eca teman sebangkunya saja sering lupa menyebutkan nama gadis itu.

"Kakak juga tau nama lengkap aku?" tanyanya untuk kesekian kali karena berujung percuma.

"Saya pulang dulu, tujuannya sudah tersampai." pamit Adib lalu berbalik arah meninggalkan Fia yang tampak frustasi memecahkan berbagai pertanyaan dikepalanya.

Gadis itu menatap sekelilingnya dan betapa terkejutnya Lifia ketika menyadari halaman yang dipenuhi rerumputan hijau tersebut merupakan halaman rumahnya.

"Mbk Ayu!" serunya sedikit berteriak sembari berlari kedalam rumah.

1 SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang