"Fi, itu??"
"Apa?"
"Gantungan itu kayaknya gue pernah liat deh,"
"Serius Bil?" tanya gadis itu tak percaya, matanya yang berbentuk bulan sabit mengerling sempurna. Eca yang tampak sibuk menyalin tugasnya pun ikut mendongak.
"Iya serius! Tapi, gue lupa dimana hehe,"
"Arghh Billa," keluh Lifia dan Eca secara bersamaan.
"Emang penting banget ya, Fi?"
"Iya, soal mbk Ayu udah jujur kalau itu bukan punya dia."
"Teman sekelas?"
"Udah gue tanyain tapi semuanya pada bilang bukan," sambung Eca yang kembali asik menulis tugasnya.
"Yaudah simpan aja. Kalau ada pemiliknya pasti ada yang cari,"
Lifia mengiyakan, meski sebenarnya hatinya bertanya-tanya dan kekeuh ingin mencari siapa pemilik sebenarnya.
Tak lama bel masuk berdering, memaksakan semua murid menyudahi waktu istirahat mereka.
***
Hari kian petang, mentari bersembunyi di balik awan comolunimbus hitam yang perlahan menjatuhkan titik-titik air hujan.
Lifia menghela napas, lagi-lagi ia harus terperangkap di halte sendirian.Hatinya mulai gelisah, kulitnya mengeluarkan keringat dingin. Membuat Lifia takut karena angkutan umum mendadak berkurang.
"Aduh!!" keluh gadis itu menggigit bibir bawahnya, kakinya bergoyang dengan tempo jelas menampilkan kegelisahan.
Tiba-tiba, "Dek," sapa supir angkot biru tempo kemarin dari dalam mobil tuanya.
Kedua alis Lifia berkedut, tangannya melambai dengan cepat, berusaha menolak dengan sopan."Bapak ini supir angkot yang kemarin, Dek." ujar pria paruh baya itu sedikit berteriak sebab suaranya yang kian tertelan derasnya air hujan.
"Ayo masuk! Dari pada sendirian di halte entar di apa-apain orang? Mending masuk. Tenang, saya jaga kok." si Bapak berusaha meyakinkan. Dengan segenap pertimbangan dan separuh keberanian yang ada, Lifia langkahkan kaki menuju angkot tersebut.
Angkot pun melaju, meninggalkan halte yang kian mengecil dipandangan. Dalam diam nya Lifia bergumam, kenapa angkot ni sering sekali kosong?
"Kalau sore gini memang sudah waktunya bapak pulang ke rumah, Dek." ujar si supir, seperti mengerti apa yang tengah Lifia pikirkan. Niat Lifia ingin bertanya malah ber-oh-ria.
Diluar hujan kian deras, membuat Lifia mengusap kedua tengkuknya sebab angin yang berhembus melalui jendela yang terbuka. Tangan Fia terulur hendak menutup kaca itu, namun terhenti ketika sebuah instrumen musik tanpa lagu mengalun dalam angkot itu. Sebuah lagu lama yang dipopulerkan oleh musisi Iwan Fals dalam judulnya 'Izinkan aku menyayangimu'.
"Kebetulan banget lagu kesukaan aku," lirihnya, pelan. Namun berhasil sampai ke telinga supir angkot yang sejak tadi memperhatikannya dari balik kaca spion sana.
Musik terus mengalun, hingga pada akhirnya angkot berhenti alunan musik tanpa syair itu pun selesai.
Lifia turun, tangannya terulur hendak memberi uang seharga tiga ribu rupiah namun ditolak."Gak papa, Dek. Anggap saja bapak hari ini sedekah."
"Tapi pak--"
"Kebetulan kita searah, kok." potong bapak itu, suaranya lembut meyakinkan.
"Makasih ya, pak?"
"Sama-sama." angkot biru kembali melaju, meninggalkan Lifia yang mulai bergerak menjauh.
"Ternyata masih banyak orang-orang baik di Ibu kota, setiap nolongin jawabannya pasti kebetulan searah." batin Lifia teringat perkataan supir angkot juga Adib tempo kemarin.
Membayangkan Adib, mendadak Lifia teringat sesuatu."Jangan-jangan?"
***
![](https://img.wattpad.com/cover/233314887-288-k880419.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Semester
Ficção AdolescenteTiap hari Lifia dikejutkan berjuta tanya dari sikap seorang Adibya Sapta Prasetya yang merupakan kakak kelasnya. Selain romantis, pria itu juga mempunyai seribu rahasia yang tak mampu Lifia ungkap meski dengan berjuta pertanyaan. Dan mainan kunci ke...