Ruangan sebesar 7×5 meter itu tampak lengang meski dipenuhi kursi-kursi jati besar dan beberapa lukisan juga Poto keluarga.
Siluet cahaya melesat cepat ketika Adib membuka pintu utama, menerangi setiap sela yang sebelumnya tak terjamah matahari sedikit pun. Berbarengan dengan langkahnya menuju sofa panjang, matanya menangkap segelas kopi yang asapnya masih mengepul juga ponsel yang tergeletak di atas meja.Mata Adib mengerling, mengingat ia baru saja mendapatkan nomor WhatsApp Lifia dan paket datanya yang habis. Pria itu bergegas menghidupkan hotspot yang ada di ponsel ayahnya, lalu berjalan menuju kamarnya mengendap-endap seperti maling...
***
Lifia tengah asik menyantap ayam panggang, tiba-tiba ponsel yang tergeletak di atas meja ruang tengah berdering. Memaksakan ia mencuci tangan dan menerima telpon dari nomor tak dikenal tersebut.
"Hallo?"
"..."
"Iya kak, ada apa?"
"..."
"Oke sip, udah di save,"
Hening, terdengar helaan berat napas pria di sebrang telpon tersebut. Berbarengan dengan itu sebuah nomor tak dikenal kembali muncul di layar ponsel Lifia, karena merasa tak ada yang perlu dibicarakan Lifia pun pamit dan memutuskan sambungan telpon. Di cek nya nomor WhatsApp tersebut, Lifia pun terbelalak seketika mengetahui pemiliknya adalah Adibya Sapta Prasetya. Perasaan bingung, tak enak hati, juga senang bersemi dalam detik yang sama. Dan bersamaan dengan itu jemarinya bergerak menekan lambang telpon pada kontak WhatsApp lain.
***
Tanpa sempat mengganti seragam juga melepaskan sepatu pria itu langsung menghubungi Lifia. Berselang detik nomor gadis itu tersambung namun sayangnya berada dipanggilan lain.
Kamu lagi gak telponan sama Messi kan, Fi? Batin Adib, air mukanya mendadak berubah, ada segelintir perih yang tak bisa dibacakan.
Pintu kamar Adib diketuk. Seorang pria baruh baya tersenyum sumringah padanya."Ayah, mau kemana rapi banget?"
Pria yang menginjak usia setengah abad itu merangkulnya, mengajak Adib menuju pintu utama.
"Jaga rumah, ibu, dan anak gadis ayah!! Ayah akan mandah di Kalimantan selama dua bulan, kamu yang rajin belajar, ingat kelulusan sudah di depan mata. Jadi jangan sia-siakan waktu kamu buat yang gak penting, dengar?"
Adib menggangguk "oke Ayah, insyaallah amanah." meski ayah nya terkadang suka berlebihan mendidik anak-anaknya tetapi Adib tak pernah marah, bosan, apalagi kesal. Ia selalu rindu wejangan pria penuh wibawa, humoris, dan bertanggung jawab itu.
Meski tugas abdi negara berat, tapi cintanya pada keluarga tak pernah lekang sedikit pun.Setelah memeluk kedua perempuan yang disayangnya, Irawan pun pamit. Meninggalkan rumah gedung itu segera.
"Eh Masha, kamu gedenya kapan?" Goda Adib pada kakak kandungnya yang tampak tak bersemangat hidup semenjak gagal dalam seleksi Lomba pencak silat sebab tingginya yang hanya 158 cm.
"Diem lu bear!" Peringat Zahra, ibu mereka hanya menggeleng-geleng, sebelum akhirnya ketiga tuan rumah itu berpisah di ruang tengah menuju kamarnya masing-masing.
Sesampainya dikamar, Adib mengecek ponselnya yang mana terdapat lima panggilan tak terjawab dari Lifia.
"Astaga Fi, tathering nya udah kabur," decaknya sedikit menyesal.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
1 Semester
Fiksi RemajaTiap hari Lifia dikejutkan berjuta tanya dari sikap seorang Adibya Sapta Prasetya yang merupakan kakak kelasnya. Selain romantis, pria itu juga mempunyai seribu rahasia yang tak mampu Lifia ungkap meski dengan berjuta pertanyaan. Dan mainan kunci ke...