8. Dipeluk

29 8 1
                                    

Kicauan burung gereja menyambut kedatangan Lifia ketika gadis itu turun dari metro mini. Siluet keemasan bergerak naik sesaat ia menampakkan kaki di halte tempatnya biasa menunggu kendaran. Gadis itu melangkah cepat menuju gerbang, dan tak sengaja berpapasan dengan Adib yang sepertinya juga baru sampai di sekolah. Adib tersenyum "Barengan yuk?"

"Em b-boleh sih, tapi..."

"Tapi apa?"

"Tapi kakak yakin?" Tanya Lifia, matanya mengitari sekitar berusaha meyakinkan bahwa tak ada orang yang menjadikan mereka sorotan.
Sebab tiga hari yang lalu, ketika Lifia iseng bertanya "siapa cowok terganteng di sekolah kita?"

Dengan kompak Billa dan Oca menyatakan argumen mereka bahwa Adib termasuk rata-rata orang terganteng disekolah, selain famous dan berprestasi Adib juga mempunyai mantan kekasih yang cantiknya di atas rata-rata dan juga fans dimana-mana.

"Lho yakin? emang kenapa, ohh takut Messi marah ya?" Ujar Adib tak menyangka bahwa kalimat itu yang akan mencelos dari bibirnya. Lifia mendelik, menatap pria itu penuh tanda tanya.

"Kak Messi teman dekat kakak?"

"Enggak, teguran aja jarang." Balas Adib, mereka melangkah beriringan.

"Kemarin... waktu kakak nelpon, aku lagi ditelpon sama kak Messi," ungkap  Lifia, meski Adib tak akan menanyakan itu tapi entah mengapa gadis itu merasa begitu bersalah.

"Aku minta maa--f,"

"Aku yang minta maaf," sanggah Adib cepat, "Waktu nelpon kamu aku pakai tathering ayah, waktu ayah pergi tethering nya mati. Maaf ya?" Lifia mengangguk. Masih dengan mata was-was memperhatikan sekitar. Ada banyak siswi yang duduk di koridor lantai dasar, beberapa diantara mereka ada yang memandang seperti tak percaya, beberapa diantaranya lagi ada yang menatap Lifia sinis karena keirian mereka tak bisa berada di posisi Lifia saat ini.

"Kok kamu diam? Bentar lagi sampai kelas lho," Adib memecah keheningan.

Gadis itu menatap Adib sejenak "Emang kenapa?"

"Gak papa, saya berharap aja kamu minta anteri pulang, biar nanti bisa nyicipi air putih rebusan rumah kamu. Ya kan air dirumah mu rebusan sendiri?"

"Kakak tau dari mana?" Akhirnya kalimat konyol itu meluncur dengan sempurna. Pertanyaan yang takkan pernah Adib jawab, dan tanpa terasa kaki mereka sudah menginjak ujung lantai dua yang mana beberapa langkah lagi adalah kelas Lifia.

"Jangan takut ya sama saya," Adib menarik lengan Lifia menyusuri koridor yang dihuni siswa-siswi MIPA. Mata gadis itu yang berbentuk bulat sabit membesar, bibirnya sedikit terbuka karena bingung harus melakukan apa. Mencegah pria itu lalu membuatnya tersinggung meski ia tau Adib takkan tersinggung, atau mengikhlaskan tangannya digenggam laki-laki itu hingga ke kelas lalu dalam sekejap namanya menjadi bual-bualan seantero sekolah dan musuhnya pun membludak, lalu Billa dan Oca menjauhinya. Astaga! Batin Lifia panik, otaknya makin tak mampu berpikir dengan baik ketika dilihatnya beberapa orang siswi yang melintas membisikkan mereka.

"Kalau kamu gak betah disini kabari saya,"

"K-kenapa kak?"

"Biar saya yang buat kamu betah, setuju?"

Lifia hanya membalas dengan senyuman, baginya tak ada respon paling tepat di saat ini selain tersenyum. Dengan senyum ia bersedekah, dengan senyum ia ikut menebar kebahagiaan, dengan senyum tak kan ada kata yang perlu diartikan berlebih. Dan karena senyumnya pula otak Adib hampir berhenti berpikir dan menyadari bahwa mereka sudah sampai di ambang pintu kelas Lifia.

1 SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang