4. Tebakan benar

53 7 13
                                    

Padahal hari ini bukan jadwal piketnya, tapi Lifia datang lebih pagi dari biasanya. Kaki gadis itu bergerak cepat, bukan ke kelas melainkan menuju ruang osis dimana Nabilla berada.

"Bil, Billa!" serunya pada Billa yang tampak sibuk memeriksa absen murid yang sering alpa jika apel pagi.

"Eh, sama siapa lo ke sini? Kok berani?" tanya Nabilla, gadis itu celingukan--berusaha mencari siapa yang menghantarkan murid baru itu ke ruang osis.

"Sendiri. Gak ada orang kan selain kamu di ruangan ini?" Lifia balik bertanya, matanya mengitari ruangan yang tampak lengang tanpa orang kecuali mereka berdua.

"Iya, ada apa?"

"Cantelan taurus? Kamu liatnya di halte, bukan?"

Billa mengerjap-erjap, berusaha mengingat. Namun...

"Hmm, kayaknya bukan deh! Seingat aku waktu itu di parkiran kalau gak salah,"

"Kamu yakin?"

"Yeah, i think so."

Lifia menghela napas, ternyata tebakannya salah.

"Memang kenapa?"

"Kalau di halte bisa jadi itu punya kak Ad--"

"Pagi!" terdengar suara bariton dari belakang sana. Kedua gadis itu memandang ke arah pintu masuk, dan betapa terkejutnya Billa ketika mendapati laki-laki itu adalah Messi.
Seorang wakil ketua osis idaman para kaum hawa yang ternyata menyukai Lifia Hana Vebiola.

Lifia yang tak mengetahui kalau itu adalah Messi dan merasa asing dengan kehadiran laki-laki itu pun pamit, meninggalkan Billa juga Messi yang terdiam di tempat.

"Itu Lifia, kan?" tanya Messi sepeninggal gadis itu--tak percaya.

"I-iya kak," balas Billa, gugup.

***

Kelas XI-Ipa2 tampak tenang ketika Miss Meli menjelaskan.
Beberapa buku paket nan tebal berdiri tegak menutup wajah mereka, semua itu bukan karena mereka fokus memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung, melainkan tidur dengan satu tangan menyanggah dagu, dan satunya lagi memegangi buku. Sungguh, tradisi menyebalkan yang kan terkenang oleh siswa-siswi hingga kelulusan kelak.

Brakkk...
Tiba-tiba buku paket Biologi yang dilapisi sampul LKS bahasa inggris terjatuh dari tangan Nabilla. Gadis itu tersadar dari tidurnya, membuat beberapa temannya yang melihat tertawa lepas.

"Tidur ya, Billa?" tegur miss Meli telak.

"G-gak kok miss, bukunya kelepasan."

"Bukunya apa bohongnya yang kelepasan?" sindir miss Meli mendekat, lalu sedikit menunduk di bawah meja Billa--mengambil buku paket Biologi tadi.

"Nih,,," ujar miss Meli menyodorkan buku paket Biologi tersebut.

Mampus gue!! Batin Billa, wajahnya mendadak pucat karena terbayang pulang ini akan langsung di hukum membersihkan toilet.
Billa melirik sekelilingnya. Eca tidur, hanya Lifia dan kedua belas teman terpintarnya yang tak benar-benar tidur.

Gak papa deh, 35 dikurang 12 kan jadinya 23. Kalau nyuci toiletnya bareng-bareng pasti cepat selesai. Gumam gadis berambut pendek itu berusaha menenangkan dirinya.

"Billa?"

"I-iya, miss?"

"Sebutkan ciri-ciri report text!"

Hening, Billa tak menjawab. Tangannya terulur kebawah, menarik-narik rok Lifia--berusaha meminta jawaban namun terhenti ketika nama Lifia dipanggil oleh miss Meli.

"Saya miss," balas gadis manis, dengan rambut panjang yang dikuncir ekor kuda.

"Sebutkan, ciri-ciri report text?"

"Menunjukkan aspek secara umum, menggunakan present tense, juga conditional logical connection."

"True! I like you," puji miss Meli sebelum bel pulang akhirnya berdering.

"Karena waktu kita habis, saya tutup sampai disini. Dan tugas buat yang tidur tolong buatkan report text yang mana setiap dari ke 23 kalian tidak boleh menggunakan tema yang sama. Paham yang tidur?" kata yang tidur sedikit miss Meli tekankan, membuat Billa dan temannya yang baru saja terbangun berdecak sebal.

"Sekian, see you next time."

"See you, miss." jawab siswa-siswi bersamaan. Dengan perasaan kantuk yang menghilang seketika, murid-murid itu berbondong meninggalkan kelas.

"Nyesel gue ikutan tradisi lo tadi, Bill," gerutu Eca, rambut sepundaknya ia kuncir menjadi satu.

"Lah mata lo yang merem, kok nyalahi gue?" sanggah Billa tak terima. Ketiga gadis itu melangkah beriringan, saling berbincang tak penting dan tanpa terasa sudah sampai di gerbang.

"Eh gue dulu ya, Bunda udah jemput tuh!" tunjuk Billa pada mobil berwarna putih di sebrang sana. Tak lama setelah Billa pamit, Eca di jemput abangnya.

"Gue dulu, Fi. Bye,"

"Bye," balas Lifia, baru saja hendak menuju halte namun langkahnya kembali terhenti. Mata gadis itu mendapati sosok Adib yang tampak setia berdiri di pintu pos satpam.

"Kak Adib," sapa Fia, mendekat. Pria bertubuh atletis dengan rahang tegas dan alis legam itu memandang ke arah Lifia.

"Fia?" Adib membenahi cara berdirinya, senyumnya tersimpul manis. Membuat pria itu lebih berkharisma dari yang pernah Lifia lihat, kemarin.

"A-aku mau nanyain sesuatu kak,"

"Silahkan, ngomong aja."

"Emm," tangan Fia terulur mengambil cantelan taurus dari sakunya.

"Ini punya kakak bukan?"

Adib mendekat, "Lho kok bisa sama, kamu?" tanyanya dengan senyum yang tak lekang sedari tadi. Lifia menggeleng, manik hitamnya lurus memandangi wajah Adib yang bersih.

"Yaudah thanks ya,"

Lifia mengangguk hendak pamit "Aku duluan, kak." namun...

"Eh tunggu-tunggu!" gadis itu mengurungkan niatnya, menatap Adib yang berlalu menuju sebuah motor Vespa hijau lumut di bawah pohon besar--dekat gerbang.
Mesin kendaraan itu menderu, bergerak mendekati Lifia yang masih tampak bingung.

"Ayo naik, saya anterin..."

"T-tapi--"

"Kakak kamu belum pulang, kok. Nanti kalau ketahuan saya yang nganterin, biar saya yang ngeyakinin kalau naik motor dengan saya lebih aman, dari pada naik angkot dan angkutan umum lain yang sering telat datang." jelasnya berusaha meyakinkan Lifia.

Dengan ragu Lifia pun manaiki motor tua itu, berusaha memberi jarak dirinya dengan punggung kekar Adib. Lalu meninggalkan sekolah nan kian lengang segera.

***

1 SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang