Diluar angin kencang, satu bintang di ujung barat tampak hilang ditelan awan gelap, seruan panitia untuk siap siaga ditakutkan hujan pun kian menggema, gadis itu keluar dari tenda, tangannya langsung bersedekap ketika semilir angin dengan merdu melintas ditelinganya. Gesekan antar ilalang pun terekam jelas, seperti magnet yang memiliki daya pikat kuat suara ilalang itu berhasil membuat Lifia menoleh dan terkesima. Dari kejauhan Fia melihat Oca melambai kepadanya, ya gadis itu tidak marah, tadi hanya firasat fia saja dan kini gadis itu tengah menemani Billa membeli gulali.
"Bye," Fia masuk ke dalam tenda, namun baru saja bersiap-siap menyantap bakso bakar dan melepaskan kuncirnya mendadak angin kencang datang lalu salah satu sisi tenda terlepas. Fia kembali keluar tenda bersamaan dengan itu gerimis turun dengan lebih deras, hiruk-pikuk dan pengumuman dari panitia kian menggema. Beberapa peserta yang tadinya menjauh dari perkemahan kini berbondong-bondong kembali ke tenda--termasuk teman regu Lifia yang baru pulang dari bazar. Lifia berjongkok untuk membenahi tenda itu, dari kejauhan samar-samar gadis itu mendengar suara Adib dan Bian mengitruksi. Lifia tak menggubris karena memperbaiki tenda saat ini lebih penting.
Angin berhembus kian kencang, rambut panjang Lifia ikut tersiram gerimis nan kian deras, Fia asik membenahi tenda sampai tak menyadari kalo Adib melintas dibelakangnya lalu dengan sengaja mengelus rambut legam Lifia yang sepanjang pinggang itu--secara lembut.
Lifia sontak menoleh, dan terhenyak ketika mendapati wajah Adib kini begitu dekat dengannya. Dengan kedua tangan yang sibuk melepaskan jaket lalu Adib menaruh jaketnya di atas kepala Lifia.
"Hari mau hujan, masuk sana!" Bisiknya sembari menepuk pelan bahu Lifia lalu menjauh segera. Meski sedikit dan tidak begitu berkesan namun Fia seperti merasakan sebuah euforia yang tak biasa, ia bangkit dari jongkoknya dengan pipi yang bersemu merah--dan senyum yang merekah indah. Lifia salah tingkah sampai tak sadar kalau air hujan yang turun dari langit ikut merembes dalam benaknya.
Ada sulutan kecewa yang lenyap seketika."Kak Adib," gumam Lifia menggeleng lalu menyelesaikan perbaikan tendanya dan masuk ke tenda segera.
***
Mobil putih yang biasa terparkir diantara parkiran guru lainnya kini terparkir diantara mobil pembina Pramuka. Entah kenyamanan hidup dari mana yang tak pernah dilewatkan seorang Messi. Semua fasilitas yang diperkenankan untuk ayahnya ia gunakan sekenanya. Messi turun dari mobil dengan kresek berisi banyak jajanan. Masih mengenakan seragam putih--abu-abu yang dilapis jacket Levis navy diluarnya.
Ia sibuk menelponi Nabilla, meminta gadis itu agar membawa Lifia dihadapannya. Walaupun satu menit setidaknya Messi bisa melepas kerinduannya kepada Lifia.
Sembari menelpon Billa ia celingukan memandangi sekitarnya, berharap ada Billa tengah berjalan dengan Lifia disekitar nya. Dan benar saja gadis yang menjadi kotak posnya dan Lifia selama ini tengah melintas bersama Oca.Setelah berbincang mengenai keinginannya hendak bertemu Lifia, kedua sahabat dan juga wakil ketua OSIS itu berjalan menuju tenda mereka. Disana Messi bertemu ayahnya yang juga berkunjung untuk memantau keadaan muridnya.
"Ngapain kamu disini, Boy?"
"Mau nemuin pacar, Yah," balasnya enteng.
"Emang ada yang mau sama kamu?"
"Ada dong," balas Messi mantap, Billa yang mendengarnya menahan tawa.
"Mana, Anak di sekolah kita? Tumben ga ada yang ngadu ke Ayah?" Ujar Pak Amri guru badan konseling tersebut. Messi hanya tercengir.
"Proses ya, doain ya!" Mohonnya.
"Sumpah seganteng ini ternyata wakil ketua OSIS kita bisa norak juga, Bill?" Bisik Oca yang membuat Billa tak kuasa menahan tawa. Membuat beberapa temannya yang tengah menyiapkan makanan siang keheranan, sayangnya Billa tak menggubris hal itu.
"Ca lo jadi orang jarang ngomong tapi sekali ngomong kok nyeletuk amat sih?" Billa masih tertawa, "kalo boleh jujur memang dari dulu dia norak, makanya gue gak niat bantuin dia jadian sama Fia," Billa ikut berbisik.
Dari kejauhan Lifia tampak serius dengan selembar kertas yang berada di genggamannya, nanti malam adalah malam pentas seni. Dia harus matang dengan persiapan Cinematic puisi yang akan dibawanya. Dia ingin sekolah nya sebagai juara, bukan sekedar menang tanpa pencapaian. Dia ingin perkemahan kali ini menjadi khas bagi sekolahnya, khas menampilkan hal berbeda dan layak untuk menjadi percontohan.
"Fi, udah makan?" Sebuah sorot mata nan teduh berhasil membuat Fia menarik kedua sudut bibirnya.
"Hai kak Adib, belum sih ini mau ikutan ke tenda," ya! Messi lagi-lagi kalah cepat. Adib sudah lebih dulu menghampiri Lifia dan menarik gadis itu menuju tenda dapur yang ukurannya tiga kali lipat lebih besar dari tenda mereka.
Melihat sikap Adib yang berubah 180 derajat sudah barang tentu membuat Lifia luluh, namun jauh diseberang sana tanpa disadari Messi telah meninggalkan parkir dengan kecepatan kilo meter per jam diatas rata-rata. Membuat Nabila dan Oca bergidik sedikit ngeri takut saja jika ada berita tidak mengenakkan terjadi pada Messi besok senin.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Semester
Teen FictionTiap hari Lifia dikejutkan berjuta tanya dari sikap seorang Adibya Sapta Prasetya yang merupakan kakak kelasnya. Selain romantis, pria itu juga mempunyai seribu rahasia yang tak mampu Lifia ungkap meski dengan berjuta pertanyaan. Dan mainan kunci ke...