🌸 bagian tiga

3K 418 52
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

Bulan mulai merangkak naik, menggantikan tugas mentari. Jam dinding pun menunjukkan pukul 20.00 malam.

Jam-jam seperti inilah digunakan oleh Bang Chan untuk menyelesaikan laporan perusahaan. Untuk sekarang seharusnya ia bisa duduk di sofa ruang tengah dengan Minho yang bersandar di bahunya.

Mengabaikan berkas yang melambai minta ia kencani.

Namun, yang terjadi adalah ia duduk di sofa ruang tengah dengan memangku laptopnya. Mengencani berkas dan sedikit mengabaikan Minho yang asyik bersandar di antara kedua kakinya.


Sedikit susah karena laptop yang lebih tua berada di belakangnya.

"Minho."

"Ya, Kak Chan?"

"Ingin memasang foto kita dimana?"

Ah, foto pernikahan itu. Minho bahkan tidak ingin mengingatnya karena pipinya akan memerah setiap mengingat bagaimana dekatnya posisi mereka saat itu.

Bang Chan yang mendekatkan wajah mereka lengkap dengan melingkarkan lengannya di pinggang Minho.

Telapak tangan Minho menahan Bang Chan dan ia mencoba memalingkan wajah ke kiri. Berusaha menahan lelakinya agar tidak semakin mendekat.

Ah, indahnya.

"Minho?"

Sukses, suara Bang Chan sukses membawa Minho kembali ke dunia.

"A-ah, terserah. Memang sebesar apa?"

"Sebesar cintaku padamu."

Jika bukan karena Bang Chan adalah suaminya, sudah dipastikan Minho akan melemparnya ke antartika.

"Kak Chan!"

"Okay, maaf. Mungkin akan sebesar foto orangtuamu yang dipajang di ruang tamu."

"Eh, sebesar itu?"

Bang Chan mengangguk. Posisi mereka masih sama.

"Yaudah, pasang saja dimanapun mau kakak."

"Di keningmu mau?"

"Ish!" Bibir Minho mencebik lucu, dengan emosi membuka toples camilan di atas meja dan memakannya.

"Bercanda, sayang. Dipasang di ruang tengah saja, di atas televisi."

"Apa gak memalukan? Foto sebesar itu, belum lagi wajahku yang ah ... sudahlah."

Minho menunduk dengan bibir memelas sedih, sedangkan Bang Chan yang melirik itu hanya terkekeh pelan.

Kucing kecil yang menggemaskan.

"Mana ada ... kamu lucu di foto itu."

"Enggak, aku enggak lucu."

"Lucu, Minho. Besok kamu lihat, kalau gak lucu nanti lucunya aku keep sendiri di otak."

"Oke-oke, aku lihat besok."

Setelahnya, hening melanda. Hanya terdengar denting jam dan suara keyboard laptop yang ditekan oleh jari Bang Chan.

"Aku mau bikin coklat hangat, kakak mau?"

Minho berdiri dari duduknya sembari mengunyah camilan.

"Boleh, sekalian ngobrol-ngobrol."

"Okay, tunggu bentar. Kak Chan jangan tidur duluan, ya."

Si manis beranjak menuju dapur, meninggalkan si Australia yang masih fokus pada layar laptopnya.

Sepuluh menit berlalu, Minho kembali dengan dua mug berisi coklat panas. Ia tidak ingin yang lebih tua meminum kopi atau akan berakhir dengan begadang hingga pagi menjelang.

"Nah, sudah."

"Sini!" Bang Chan menepuk space kosong di sofa setelahnya menutup laptop dan meletakkannya di atas meja.

Minho tentu mengiyakan.

"Oke, sekarang kita ngobrol. Aku tau kamu, kamu tau aku."

"Aku duluan, kak. Kak Chan udah tau namaku siapa dan orangtuaku siapa, tapi kakak gak tau lebihnya. Aku punya 3 kucing, namanya Soonie, Doongie, sama Dori. Suka es krim, apalagi mintchoco. Aku kerja di gedung pernikahan kemarin buat sambilan karena ya ... gajinya lumayan soalnya."

Bang Chan mengangguk.

"Kak Chan?"

"Aku punya 2 adik, Hannah, dan Lucas. Mereka tidak datang karena sedang berlibur di Australia. Juga seekor anjing bernama Berry. Suka ice americano, tapi aku lebih menyukaimu."

"Kak Chan kerja di perusahaan, kan?"

Bang Chan mengangguk. "Monochrome Corp."

Manik yang lebih muda membulat, tidak menyangka bahwa suaminya berada di perusahaan itu.

Perusahaan properti dan musik terbesar.

"Serius? Kak Chan gak bohong?"

"Enggak, sayang."

Mendengar kata manis dari mulut yang lebih tua, membuat pipi Minho memerah malu. Samar, namun Bang Chan bisa melihat itu.

Mereka lanjut mengobrol banyak hal, dari hobi apa saja yang disukai, makanan, style berpakaian, dan lainnya.

Disaat yang sama pula, jarak mereka yang awalnya terpisah dua jengkal menjadi tidak berjarak sama sekali. Entah siapa yang memulainya, yang pasti sekarang mereka berakhir berpelukan di atas sofa.

Dengan dua mug kosong di atas meja.

"Minho, mungkin di mata kamu aku kelihatan gak serius di pernikahan dan asal minta kamu jadi pasangan aku. Sejujurnya enggak, aku bener-bener serius kalau urusan pernikahan dan aku mah cukup sekali seumur hidup. Aku gak tau harus bersyukur bagaimana lagi karena ya ... aku nemuin kamu di sana."

Tidak ada sahutan, hanya deru nafas teratur dari yang lebih muda di dekapannya.

Minho tertidur.

"Dasar kucing," gumam Bang Chan sembari menyematkan satu kecupan di puncak kepala Minho.

Setelahnya, dengan pelan ia menggendong yang lebih muda ke kamar mereka. Merebahkan tubuh lelah mereka di ranjang dan menaikkan selimut sebatas bahu.

"Good night, kitten."

.

Hi?

𝐬𝐮𝐝𝐝𝐞𝐧 𝐦𝐚𝐫𝐫𝐢𝐚𝐠𝐞•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang