11. Pondok Biru

6 2 0
                                    

"Kau tau bedanya dirimu dengan soal matematika?"

"Aku tidak suka dibandingkan dengan soal matematika"

***

"Apanya yang lucu?" sergahku cepat.

"Kau dengan pelototan itu tentu saja" jawabnya lirih dengan wajah serius. Tatapannya tak lepas dari wajahku. Membuatku sedikit salah tingkah. Kenapa pula kau harus salah tingkah karena orang seperti dia Rany? Hell. Ucap dewi batinku mengingatkan

Malas mendebat, aku mencoba kembali fokus pada catatan matematika yang sebelumnya kubiarkan menganggur. Meninggalkan dia yang masih sibuk mengamatiku.

Detik demi detik berlalu, terasa sangat lambat. Aku masih bisa merasakan tatapannya yang mengikuti gerak-gerikku. Aku yakin di dalam kelas ini tidak hanya ada kami berdua, tapi kenapa aku merasa seperti terjebak di ruang sempit hanya berdua dengannya.

"Rany," serunya lirih, setelah beberapa saat hening menyelimuti kami berdua. Aku mengangkat kepalaku demi melihat ekspresi seriusnya saat ini. Dan itu terlihat sangat aneh.

"Apa?" tanyaku malas.

"Aku ingin bertanya serius" kali ini apalagi yang ada di dalam otak kacangnya itu. Batinku.

"Jangan membuatku kesal, cepat katakan. Dan jangan lagi gunakan ekspresi serius itu. Kau terlihat aneh, kau tau?" dia hanya terkekeh kecil menanggapi perkataanku. Sudah menjadi kebiasaannya.

"Kau tau bedanya dirimu dengan soal matematika?" aku memutar bola mataku jengah.

"Aku tidak suka dibandingkan dengan soal matematika" jawabku ketus. Kukira hal serius apa yang ingin dia tanyakan. Memangnya apa yang kau harapkan dari Ryan si petikilan ini Rany. Ucap dewi batinku.

"Hahahaha... itu dia"

"Apa?"

"Soal matematika kalau ku pelajari, ku analisis, pasti bisa kujawab soalnya. Tapi kau, meski sudah kupelajari, ku analisis, tetap saja rumit. Sulit dimengerti. Aku selalu berusaha menebak apa yang kau pikirkan di dalam kepala cantikmu itu. Mencari tau melalui tiap ekspresi yang kau ciptakan. Tetap saja aku tidak mengerti jalan pikiranmu"

"Aku yakin kau lupa, jadi kuingatkan. Kau bukan peramal, dukun, atau semacamnya yang bisa membaca pikiran seseorang, ingat?"

"Dan aku selalu suka tiap kata yang keluar dari mulutmu, selalu membuatku takjub" jawabnya acuh tak acuh, mengabaikan pernyataanku sebelumnya.

Kenapa pula kami harus terjebak dalam percakapan awkward seperti ini, pikirku. Aku menghembuskan napasku pelan.

Sisa isitirahat hari itu aku habiskan dengan melanjutkan catatan matematikaku yang tidak kelar-kelar sejak tadi. Mengacuhkan Ryan yang masih setia duduk dihadapanku. Ia baru beranjak dari sana ketika bel masuk berdering.

**

Triiingg.....

Bel pulang baru saja berbunyi beberapa menit lalu, membuat bu Nurul, guru Bahasa Indonesia kami mau tidak mau harus mengakhiri pelajaran siang itu. Seperti biasa, aku langsung pulang dengan menumpang pada bentor.

"Assalamualakum. Ma.." seruku pelan, mencari-cari keberadaan mama ketika baru saja sampai di rumah. Tidak biasanya mama peninggalkan dagangannya begitu saja, pikirku.

Samar-samar aku mendengar suara mama dari arah kamarnya, sepertinya mama sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Entah apa yang dikatakan orang di seberang sana, tapi aku dapat dengan jelas mendengar suara mama yang sarat akan emosi yang berusaha ia tekan sekuat tenaga, hingga suaranya hanya tertahan di tenggorakan.

"Jangan harap! Rany tetap denganku, begitu juga Rina"

"Kau tidak perlu repot-repot merawat mereka, biar aku saja"

"Aku sudah cukup lelah dengan tingkahmu selama ini, aku sudah membiarkanmu pergi dengan wanita itu, jadi kumohon biarkan anak-anakku tetap denganku"

Setelah hening beberapa saat, perlahan aku mendengar suara isak tertahan. Sepertinya telpon telah diputuskan sepihak oleh mama seiring dengan suara tangisan lirih beliau. Aku tau siapa yang menjadi lawan bicara mama tadi. Seorang yang selalu membuat mama menangis, yang memberi luka pada keluarga kita. Aku bahkan ragu apakah kami masih bisa disebut keluarga.

Perlahan aku mendorong pintu tripleks yang menjadi sekat antara aku dan mama saat ini.

"Maa,"

Buru-buru mama menghapus sisa air matanya, sambil menampilkan senyum terbaik yang bisa beliau berikan. Meski begitu masih jelas terlihat jejak air mata di pipi beliau. Mata mama juga tidak bisa berbohong, semua kesedihan itu tergambar dengan jelas disana.

"Eh, Rany sudah pulang dari tadi?"

"Iya ma" sekilas aku melihat ekspresi mama sedikit berubah, hanya sebentar, sebelum beliau kembali tersenyum lebar seakan-akan semua baik-baik saja.

"ya sudah, sana makan"

"Iya, Rina mana ma?"

"Sepetinya dia sedang main dengan anak tetangga"

Begitulah akhir percakapanku dengan mama siang itu. Aku selalu ingin menghibur mama, tapi aku tidak tau bagaimana caranya, atau mungkin aku terlalu gengsi untuk menunjukkan rasa peduliku pada mama.

**

Dan disnilah aku, berbaring menatap langit-langit kamar yang berplafonkan tripleks putih kekuningan, sambil memikirkan percakapan mama ditelpon tadi siang. Mungkinkah kami akan kembali? Mungkinkah semua akan kembali normal seperti sedia kala? Mungkinkah saat aku bangun esok pagi, semua ini ternyata hanyalah mimpi? Sungguh aku tidak suka disini, aku rindu dengan kehidupanku sebelum ini, aku rindu teman-teman dan sahabatku. Aku mau pulang.

Tapi apakah aku tega seegois itu pada mama? Apakah aku tega meninggalkan mama dan Rina disini berjuang sendirian?

Air mata kembali membanjiri pipiku, sekuat tenaga aku berusaha meredam suara tangisan dengan kedua tanganku. Aku tak kuasa menahan bahuku yang mulai berguncang perlahan. Entah pada angka berapa jarum jam mengarah, akhirnya aku jatuh tertidur setelah lelah dengan pergulatan batin yang sama hampir tiap malam.

Turn Back!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang