Selamat Membaca
4 Januari 2019
Hari ini adalah hari ulang tahun Aluna Wibisono yang ke tujuh belas. Gadis cantik itu tengah merayakan pesta bersama dengan teman-temannya. Acara tiup lilin dan potong kue sudah dilakukan beberapa menit yang lalu.Namun, hal itu tak lantas membuat gadis itu merasa senang. Pasalnya, seseorang yang dia tunggu-tunggu, tidak juga menunjukkan wajahnya di hadapan Luna.
Luna memilih menepi ke arah dapur. Enggan berbaur dengan teman-temannya yang lain. Gadis itu tengah duduk termenung di bar mini di dapurnya. Tiba-tiba saja sebuah suara menyapa telinganya.
“Kenapa di sini?”
Luna menoleh dan tersenyum lebar begitu melihat Ibra Atmajaya tengah duduk di sampingnya sambil membawa piring berisi makanan. Lelaki itu makan dalam diam.
“Bang Ibra datang ke ulangtahunku?” tanyanya dengan senang.
Ibra masih mengunyah dengan santai. “Aku lapar. Bunda nggak masak karena bantuin Bik Shasi. Cuman numpang makan.”
Meski alasan tersebut yang keluar dari mulut Ibra. Hal itu masih saja membuat hati Luna berdebar. Gadis itu lalu beranjak dari duduknya, dan berjalan ke arah kulkas. Mengeluarkan sesuatu dari sana, sebelum berdiri di samping Ibra yang masih makan dengan tenang.
Gadis itu menyerahkan potongan kue di tangannya ke arah Ibra. “Jadi pacar Luna ya, Bang,” ujarnya dengan pipi memerah.
Kali ini Ibra menghentikan acara makannya. Dia menoleh ke arah Luna. Menatap secara bergantian ke arah Luna, dan kue di tangan gadis itu. Lalu, tanpa suara Ibra meraih kue di tangan Luna.
“Oke.”
Luna melebarkan matanya. “Kita jadian? Bang Ibra nerima Luna?”
Ibra hanya mengangguk dan kembali memakan makanannya. Sedangkan Luna tersenyum lebar dengan jantung berdetak cepat. Tanpa aba-aba, gadis itu langsung melingkarkan tangannya di leher Ibra, memeluk lelaki itu senang.
“Makasih, Bang Ibra. Luna senang, deh.”
Dan, Ibra yang awalnya terkejut, akhirnya memilih membiarkan. Tetap melanjutkan makannya walau sulit karena tangan Luna di leheranya.
***
“Pokoknya, Luna nggak mau dia bareng kita,” ujar Luna kesal.
Sedangkan Ibra masih memandangnya datar. “Aku ada janji sama dia,” jawabnya tanpa ada niatan melebihkan.
“Batalin!” seru gadis itu keras, hingga membuat beberapa mahasiswa yang melintas, menoleh ingin tahu. “Luna mau pulang berdua sama Abang!”
“Nggak bisa.” Sekali lagi, Ibra menanggapinya dengan singkat. Lalu, pandangannya menemukan Rasti yang tengah berjalan ke arah mereka.
“Hai, Luna,” sapa Rasti ramah kepada Luna, yang hanya dijawab lirikan sinis oleh gadis manja itu.
“Yang lain udah siap?” tanya Ibra kepada Rasti, lelaki itu tidak memedulikan raut wajah Luna yang merajuk.
“Udah. Mereka nungguin kita di pertigaan.”
Ibra mengangguk. Lalu, pandangannya beralih memandang Luna. “Mau ikut?”
“Enggak!” Luna menjawab dengan cepat.
“Yaudah. Masuk, Ras,” katanya sambil berjalan ke arah bangku kemudi.
Meninggalkan Luna yang merasa bertambah kesal karena ulah Ibra barusan. Bukannya membujuk, malah tidak dipedulikan. Dasar Ibra menyebalkan!
Rasti yang merasa bingung, hanya bisa menuruti kemauan Ibra, dan masuk ke bangku di samping kemudi.
“Luna, gimana?” tanya Rasti begitu Ibra menyalakan mesin mobil, tidak memedulikan Luna yang masih berdiri di luar dan menatap ke arah mobil dengan kesal.
“Biar. Itu yang dia mau.” Setelahnya, Ibra malah mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat parkir.
Sementara Luna masih diam di tempatnya. Matanya memerah, bukan hendak menangis. Tapi, gadis itu marah. Dia memandang mobil Ibra dengan tangan mengepal. Dan, satu umpatan kasar keluar dari mulut cantiknya.
“Brengsek si Rasti!”
Gadis itu mengembuskan napasnya kasar. Dia mengeluarkan ponselnya, dan mulai mengirim pesan kepada sopir pribadinya untuk menjemputnya di kedai Thai Tea di samping kampusnya.
Dia perlu segelas Thai Tea original untuk menjernihkan pikirannya.
***
Selesai maghrib, Luna segera berjalan ke arah rumah di sebelahnya. Mengetuknya beberapa kali, sebelum pintu dibuka oleh wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu.
“Hai, udah makan?” tanya wanita yang tidak lain adalah bunda dari Ibra itu.
“Udah, Bunda. Mau ketemu abang,” jawab gadis itu sambil berjalan masuk beriringan dengan bunda.
“Lho, memangnya abang nggak bilang sama kamu?” tanya bunda Ibra, yang membuat Luna mengernyitkan kening.
“Bilang, apa?”
Kali ini, Luna dan bunda Ibra sudah duduk berdua di sofa ruang tengah dengan tivi yang menyala di depan mereka.
“Abang kan ada kegiatan di salah satu panti asuhan. Dia pulang besok.”
Luna terdiam. Jadi, tadi mereka pergi ke panti asuhan? Kenapa Ibra tidak mengatakan apa-apa kepadanya? Kenapa semakin ke sini, Luna semakin merasa kalau Ibra semakin tidak peduli kepada dirinya?
“Luna,” panggil bunda Ibra ketika Luna hanya diam.
Luna segera menoleh ke arah bunda, dan tersenyum tipis. “Luna tidur di sini nggak apa-apa, Bunda? Papa masih di luar kota.”
“Bukannya kemarin papa kamu baru aja dari Surabaya?”
Luna mengangguk pelan. “Iya, kemarin papa dari Surabaya. Sampai sini tadi pagi. Terus, sore langsung pergi lagi. Katanya ada pabrik yang harus diurus di Kalimantan.”
Bunda Ibra berdecak. “Papa kamu selalu gitu. Sibuk terus. Yaudah, kamu tidur di sini aja. Tidur di kamarnya abang.”
Gadis itu mengangguk. Dia memeluk bunda Ibra, yang sudah dia anggap sebagai bundanya sendiri itu. “Makasih, Bunda. Ayah ke mana?”
“Ada pertemuan sama bapak-bapak se-RT,” jawabnya sambil membalas peluka Luna. Mengusap pelan rambut panjang gadis itu.
Bunda Ibra sudah menganggap Luna sebagai anaknya sendiri, begitu pun dengan ayah Ibra. Mereka hanya memiliki Ibra. Jadi, sejak kecil, Luna dan Leon, kakak lelaki Luna, sudah mereka anggap sebagai anak sendiri.
Apalagi, ketika mama Luna meninggal saat melahirkan Luna. Semakin bertambahlah rasa sayang mereka terhadap Luna dan Leon. Ditambah papa Luna yang semakin sibuk setiap tahunnya.
Dan, ketika Luna menyatakan dengan senangnya jika dia dan Ibra telah menjadi kekasih. Orangtua Ibra merestui dan mendukungnya. Mereka tentu saja senang.
***
Saat ini jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam. Ibra membuka pagar rumahnya, dan mulai memasukkan mobilnya, sebelum kembali menutup pagar rumahnya.
Seharusnya dia tidak pulang, dan menginap di panti asuhan. Tapi, tadi dia harus mengantar Rasti pulang, karena mendadak ibu gadis itu masuk rumah sakit. Jadi, teman-temannya menyarankan agar Ibra lebih baik ikut pulang saja, dan kembali besok.
Ibra mengetuk pintu rumahnya, cukup lama sampai ayahnya dengan wajah mengantuk membukakan pintu, dan menatapnya kesal.
“Ngapain, sih, pulang malam-malam?! Ganggu orang lagi tidur aja,” ujar ayahnya dengan kesal sambil memasuki rumah, diikuti Ibra di belakangnya.
Di ruang tengah, Ibra bisa melihat sang bunda tengah berjalan menuruni tangga dengan wajah mengantuk juga. Tapi, perempuan yang tengah melahirkannya itu menyambut Ibra dengan hangat.
“Lho, katanya Abang nggak pulang?”
“Tadi ibunya Rasti masuk rumah sakit. Abang antar dia. Jadi, sekalian pulang.”
Bundanya mengangguk. “Capek, ya, Bang? Udah makan? Mau bunda hangatkan makanan?”
“Bun, dia udah gede. Udah bisa sendiri. Kita tidur lagi aja,” ujar ayah Ibra yang dibalas decakan kesal sang istri.
Ibra tersenyum tipis melihat interaksi kedua orangtuanya. “Abang udah makan. Mau mandi, terus langsung tidur. Maaf ganggu Bunda sama Ayah.”
Bundanya menggeleng. “Jangan peduliin omongan Ayah kamu. Dia emang nggak sayang anak.”
Ibra hanya kembali tersenyum tipis, apalagi ketika melihat ayahnya yang ingin protes, namun tidak jadi ketika sang bunda memberikannya lirikan tajam.
Ibra tahu semua itu tidak benar. Justru, ayahnya yang paling menyayanginya. Sejak kecil, sang ayah selalu menuruti kemauannya. Ibra ingat sekali, dulu, saat dia sakit dan meminta dibelikan ice cream, sang bunda melarang. Namun, diam-diam ayahnya mengajaknya berjalan-jalan di taman, dan membelikannya ice cream, yang membuat sakitnya semakin parah. Dan, membuat sang bunda semakin marah.
Hal remeh yang terus dia ingat. Begitu pun saat memilih jurusan kuliah. Ibra tidak ingin menekuni dunia kesehatan seperti sang ayah. Walau dia tahu orangtuanya sangat menginginkan dirinya menjadi dokter. Bundanya kecewa. Tapi, dengan besar hati, ayahnya malah menyemangatinya memilih jurusan yang dia senangi.
Ibra memasuki kamarnya yang gelap, lelaki itu mengurungkan niatnya untuk mandi, dan lebih memilih langsung membaringkan tubuhnya di ranjang, dan memeluk gulingnya erat.
Ibra mencari posisi nyaman, dan memejamkan matanya. Gulingnya terasa lebih empuk dari biasanya, dan wangi. Mungkin sang bunda mengganti sarung bantalnya.
Ibra semakin mengeratkan pelukannya, tangannya yang awalnya menekan-nekan gulingnya, kini mendadak meremas. Lelaki itu membuka matanya. Gulingnya sungguh berbeda.
Tidak lama kemudian, sebuah teriakan menyapa telinganya, disertai tendangan di perutnya, yang membuat tubuhnya jatuh ke lantai.
“Aaaaaaa....”
“Bunda! Ayah! Abang mesumin Luna!”Luna duduk di ranjang sambil mengeratkan selimut di dadanya. Matanya menatap tajam ke arah Ibra yang terduduk di lantai.
Tidak lama kemudian, pintu kamar terbuka, dan lampu dinyalakan. Orangtua Ibra tengah menatap ke arah Ibra dan Luna secara bergantian.
Ibra sendiri hanya bisa mengembuskan napasnya pelan. Lelaki itu mengacak rambutnya kesal. Dia mana tahu kalau guling itu adalah Luna? Lagi pula, kenapa gadis itu selalu seenaknya memasuki kamarnya?Hai, hai, hai!!
Duh, senang banget bisa menyapa kalian di cerita ini.
Say hello sama Dedek Luna yang bar-bar, dan Abang Ibra yang selalu santuyy, yuk hehehehe
Aku selalu nulis cerita yang tokoh ceweknya selalu 'baik' kan?
Nah, di cerita ini bukan berarti Luna ga baik, ya. Tapi, agak sedikit berbeda aja sih😂😂Kalian siap untuk ikut kisah mereka? Jangan lupa vote dan komen di bawah.
Follow ig : Rizcaca21
Ty❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Luna
Teen FictionKarena saling mengenal sejak lama, tidak akan menjamin berakhir bersama. Begitu pun dengan dia yang menemanimu dalam masa sulit, di garis akhir belum tentu dia orang yang berhasil mendampingimu. Manusia hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang me...