Bab 10

15K 2.1K 297
                                    

Selamat Membaca











Malam ini, semuanya berkumpul di rumah Ibra. Luna, Aya, dan Lila. Juga seperti biasa, Ibra, Agil, dan Surya ada di sana. Ditambah satu personel, Leon. Kedatangannya yang kini selalu membuat Lila tersenyum lebar.

Kebetulan, kedua orangtua Ibra tengah pergi menghadiri pernikahan anak salah satu teman mereka. Jadi, ketuju remaja yang beranjak dewasa itu bisa merasa bebas. Apalagi, sebelum berangkat tadi, bunda Ibra berpesan untuk menghabiskan camilan yang sudah dia siapkan. Rumah dan bunda Ibra, perpaduan yang luar biasa memang.

Di saat yang lain sedang bercanda dan mengobrol di ruang tengah, Luna melipir ke dapur, di mana Ibra berada sekarang. Lelaki itu tengah membuat sirup untuk tamu-tamunya yang tidak tahu diri itu.

“Abang!” seru gadis itu sambil melingkarkan tangannya di pinggang Ibra, lalu menyandarkan pipinya di punggung tegap milik lelaki itu.

Ibra hanya diam, dan membiarkan. Luna kalau dilarang, akan semakin menjadi. Ibra tidak mau dibuat pusing karenanya.

“Abang,” panggil gadis itu manja sambil memainkan jemarinya di perut Ibra.

Ibra berdecak, dan membalikkan badan menghadap kekasihnya itu. “Tangannya bisa diam, nggak?!” tanyanya sedikit nyolot, yang membuat Luna mencibirnya pelan.

“Habis, dipanggil nggak nyahut,” kata Luna.

Ibra melotot ke arahnya. “Mau apa?!”

“Mau Abang.” Gadis itu menyengir lebar.

Ibra mendengus, dan kembali fokus dengan pembuatan tujuh gelas sirup jeruk itu. “Nanti,” jawabnya singkat.

Luna terkikik geli mendengarnya. Gadis itu kembali melingkarkan tangannya di pinggang Ibra. “Abang sayang nggak sama Luna?”

“Kamu udah tahu jawabanku. Kenapa masih tanya?”

“Karena Luna takut.”

“Takut apa?”

“Takut kalau nggak ada yang beneran sayang sama Luna,” cicit gadis itu pelan, sambil mengeratkan pelukannya di pinggan Ibra.

Mendengarnya, gerakan Ibra yang ingin menambahkan es batu ke dalam gelas terhenti. Untuk beberapa saat, keduanya sama-sama terdiam, sebelum Ibra kembali melanjutkan kegiatannya tadi.

“Jangan tinggalin Luna ya, Abang.”

Ibra kembali terdiam. “Rumahku di sini, aku nggak akan ke mana-mana.” Dia menyingkirkan tangan Luna dari pinggangnya, dan menyerahkan nampan kepada gadis itu. “Bawa ke depan.”

Kali ini Luna tersenyum lebar, dan mengangguk. Gadis itu mengambil alih nampan dari tangan Ibra. “Siap komandan!” Setelahnya, dia berjalan dengan hati-hati menuju ruang tengah, dengan suara kerasnya yang memanggil kedua sahabatnya untuk membantunya.

Ibra menatap punggung gadis itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia tidak bisa menjawab dengan pasti permintaan Luna tadi. Ibra hanya takut, jika nanti Luna akan terluka karenanya.

Tidak lama kemudian, Ibra menyusul teman-temannya yang masih asyik dengan kegiatan mereka masing-masing.

“Permisi.”

“Masuk!” seru Luna dari ruang tengah, yang membuat Ibra menatapnya jengah. Belum tahu siapa tamunya, sudah disuruh masuk saja.

“Eh, ada Bang Sat,” sapa Luna dengan senang. “Selamat malam Bang Sat. Lama nggak kelihatan, Bang Sat ke mana aja?”

Satrio mendengus mendengarnya. Sedangkan ketiga lelaki di sana, kecuali Ibra berusaha menahan tawa mereka.

“Bunda ada?” tanya Satrio sambil melemparkan pandangannya kepada Ibra.

Dunia LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang