Selamat Membaca
Setelah main basah-basahan, kini Luna, Aya, dan Lila tengah duduk bersama di meja makan rumah Luna, untuk sarapan. Ketiganya asyik sarapan sambil mengobrol bersama, sebelum Bik Shasi mengatakan jika papa Luna datang.
Ketiga gadis itu berdiri dari duduknya, dan berjalan keluar rumah untuk menyambut papa Luna. Senyuman Luna yang awalnya lebar, kini mendadak hilang ketika sampai di teras rumahnya.
Sang papa baru saja turun dari mobilnya bersama dengan seorang wanita. Siapa dia?
“Luna, untung saja kamu di rumah. Papa mau mengenalkan seseorang,” ujar papanya begitu sudah berdiri di depan Luna.
Sementara Luna masih diam. Tatapannya datar mengarah kepada wanita yang berada di samping papanya.
“Namanya Tante Widya. Dia akan menjadi mama baru kamu,” ujar papa Luna tenang yang membuat Aya dan Lila, serta Bik Shasi melongo. Sedang Luna masih tetap dengan eskpresi datarnya.
“Hallo, Luna. Salam kenal, ya,” ujar wanita bernama Widya itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Luna.
Luna diam. Tatapannya beralih menatap uluran tangan Widya ke arahnya. Sesaat kemudian, gadis itu menepi kasar tangan wanita itu yang membuat papanya terkejut.
“Luna, apa-apaan kamu?! Yang sopan sama orangtua!” bentak papanya kasar.
Luna beralih menatap papanya. “Dia bukan orangtua Luna!” balas gadis itu dengan tidak kalah keras. “Dia bukan mama Luna!”
“ALUNA!” sentaknya keras yang membuat Ibra, Agil, dan Surya keluar dari rumah sebelah.
Sedangkan di depan sana, di rumah baru milik Satrio, bunda Ibra dan mama Satrio juga tengah menatap ke arah rumah Luna yang tampak ramai itu.
Papa Luna mengembuskan napasnya berat. “Minta maaf sekarang ke Tante Widya.”
“Nggak mau,” ujar gadis itu pelan.
“Minta maaf, Luna,” geram papanya.
“Mas, sudah, nggak apa-apa. Mungkin Luna masih terkejut. Dan, kita yang terlalu buru-buru,” ujar Widya sambil memegang lengan papa Luna.
“Enggak, Wid. Luna salah. Sikapnya nggak harusnya begitu sama kamu.” Kemudian, papa Luna kembali menatap ke arah anak gadisnya. “Minta maaf, luna. Sekarang.”
“LUNA BILANG NGGAK MAU!” teriak gadis itu keras, dengan air mata yang mulai menggenang.
“Mau kamu apa, Luna?! Kenapa kamu jadi gadis kurang didikan begini?!” sentak papanya marah.
“Luna emang kurang didikan! Dan, semuanya karena Papa!” Gadis itu menghapus air mata yang mengalir di pipinya dengan kasar. “Papa jahat! Karena Luna penyebab kematian mama, Papa jadi nggak sayang Luna! Papa jahat!” Gadis itu terisak pelan yang mampu membuat papanya dan Widya terdiam.
“Luna emang nggak pernah rasanya dididik sama orangtua. Luna emang masih punya Papa. Tapi, rasanya Luna udah nggak punya Papa. Papa sibuk kerja, dan lupa kalau masih ada Luna.” Gadis itu menatap papanya penuh luka.
“Bahkan untuk sekadar ngajarin Luna naik sepeda waktu kecil, Papa nyuruh Pak Somat. Saat Luna demam, bukan Papa yang nemenin Luna, tapi Bik Shasi. Gimana bisa Luna besar dengan baik, kalau Luna nggak pernah merasakan dididik dan dimarahi sama orangtua Luna sendiri?!”
Bik Shasi dan Pak Somat mengalihkan pandangan mereka, dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Menangisi nasib anak majikannya itu.
“Luna, sudah, Nak,” ujar Widya sambil memegang lengan Luna pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Luna
Novela JuvenilKarena saling mengenal sejak lama, tidak akan menjamin berakhir bersama. Begitu pun dengan dia yang menemanimu dalam masa sulit, di garis akhir belum tentu dia orang yang berhasil mendampingimu. Manusia hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang me...