Bab 9

13.5K 1.9K 172
                                    

Selamat Membaca










Ibra menyetir dengan ugal-ugalan. Sampai-sampai Surya yang duduk di sampingnya terus komat-kamit membaca doa. Sedangkan Agil dan Leon yang duduk di belakang hanya bisa diam dengan ekspresi tegang, dengan tangan yang berpegangan pada sisi pintu.

“Ib, bentar lagi tikungan. Kurangi gasnya,” ujar Surya dengan mata yang terus mengara ke depan.

“Hmm,” Ibra hanya bergumam pelan dengan ekspresi datar, tapi sedikit pun lelaki itu tidak mengurangi laju mobilnya.

“Ib, gue serius!” Surya menatap jalanan di depannya dengan horor.

Kenyataannya, saat mobil sudah hendak mencapai tikungan, lelaki itu mengurangi gasnya dengan berlebihan yang membuat badan ketiga penumpangnya terpental ke depan.

“Anjing lo, Ib!” umpat Surya kasar begitu kepalanya terhantuk ke depan, tapi tidak lama kemudian badannya kembali terpental ke belakang karena Ibra kembali menambah kecepatannya.

Agil berdeham pelan. “Ib, kayaknya si Luna nggak apa-apa, deh. Bibik di rumah Aya tadi bilangnya mereka dibawa ke rumah Pak RW, bukan rumah sakit. itu artinya luka mereka nggak terlalu parah.” Dia berusaha menjelaskan. Bermaksud agar Ibra memelankan laju mobilnya.

“Justru karena itu. Kalau dia jatuh, harus segera di bawa ke rumah sakit, bukan rumahnya Pak RW,” balas Ibra kalem.

Agil berdecak mendengarnya. Dia melirik ke samping, dan menemukan Leon yang diam dengan ekspresi tegang. Wajahnya memucat, yang hampir saja membuat Agil tertawa, jika Ibra tidak semakin menambah kecepatan.

Leon terus diam, dan berpegangan pada pegangan di sampingnya. Demi Tuhan, dia baru saja melakukan penerbangan beberapa jam dari Belanda menuju Indonesia. Dan, sekarang dia harus kembali melakukan perjalanan yang memacu adrenalinya.

Ingin berkata takut, agar Ibra memelankan laju mobilnya. Tapi, dia gengsi. Sialan! Leon tidak bisa berbuat apa pun selain mencoba menenangkan laju detak jantungnya.

Sesampainya mereka di rumah Aya, keempatnya langsung keluar mobil. Ibra berjalan menghampiri bibik di rumah Aya untuk menanyakan keadaan ketiga gadis itu. Sementara Surya, Agil, dan Leon, masih berusaha menenangkan diri mereka sendiri.

“Shit! Gue butuh minum!” Leon berucap sambil berjalan memasuki rumah Aya. Tidak peduli lagi dengan keadaan Luna yang baru saja jatuh dari motor.

Surya mengangguk membenarkan, dan mulai berjalan mengekori Leon, memasuki rumah Aya. Agil yang sudah merasa lebih baik dari tadi, memilih menghampiri Ibra yang tengah berbicara dengan bibik di rumah Aya.

“Gimana, Bik?” tanya Agil.

“Mbak Aya sama teman-temannya sudah dibawa ke klinik, Mas. Alhamdulillah, lukanya nggak terlalu parah. Cuman lecet-lecet aja, tapi salah satu temannya Mbak Aya panik, dan mau periksa ke dokter. Jadi, tadi sama mas-masnya dibawa ke klinik dekat sini.”

Kening Ibra mengerut mendengarnya. “Mas-mas siapa, Bik?”

“Tadi, ada mas-mas yang kenal sama temannya Mbak Aya. Dia yang tanggung jawab dan ngobrol sama Pak RW dan Pak RT. Dia juga yang sekarang antar Mbak Aya dan teman-temannya ke klinik.”

Perasaan Ibra tidak tenang dengan ‘mas-mas’ yang disebutkan oleh bibik di rumah Aya itu. Siapa dia?

Agil menepuk pelan bahu Ibra, yang membuat lelaki itu menoleh. “Yang penting mereka baik-baik aja. Sekarang kita masuk, tungguin mereka di dalam aja,” ujarnya sambil berjalan masuk.

Ibra mengembuskan napasnya berat, sebelum berjalan menyusul Agil memasuki rumah Aya.

***

Setelah kurang lebih lima belas menit menunggu, Ibra akhirnya tahu siapa ‘mas-mas’ yang dimaksud oleh bibik di rumah Aya itu.

Dunia LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang