Bab 4

13K 2.1K 320
                                    

Selamat Membaca










Saat pagi menjelang, Ibra berjalan ke arah meja makan di rumahnya. Lelaki itu sempat menghentikan langkahnya ketika melihat keberadaan Luna di sana.

“Pagi, Abang!” sapa gadis itu ceria ketika Ibra duduk di sampingnya, seolah-olah tidak ada yang terjadi di antara mereka kemarin malam.

“Hmm,” Ibra hanya berdeham pelan, dan meraih teh hangat yang sudah bundanya siapkan.

“Abang, lain kali nggak boleh gitu,” ujar bunda yang berjalan ke arah meja makan sambil membawa semangkuk besar nasi goreng.

“Nggak boleh apa, Bun?” tanya Ibra heran.

“Ninggalin Luna sendirian. Nanti, kalau ada apa-apa sama Luna, gimana?”

Ibra menoleh ke arah Luna yang tengah menatapnya sambil menyengir lebar. Gadis itu mengadu kepada sang bunda.

“Rasti butuh abang, Bun,” jawab Ibra sambil menaikkan sedikit nada bicaranya, ketika bundanya kembali ke dapur.

“Luna juga butuh Abang,” sela gadis itu cepat.

Ibra menghela napas berat mendengarnya. “Iya. Tapi, saat itu Rasti lebih butuh aku daripada kamu, Lun.”

Luna cemberut. “Seharusnya Abang harus fokus sama Luna aja, jangan sama yang lain.”

“Nggak bisa. Duniaku nggak cuman ada kamu.”

Ibra lalu meraih nasi goreng yang sudah bundanya siapkan, dan mulai memakannya.

Sedangkan Luna meringis pelan mendengarnya. Ibra sudah banyak berubah. Sejak dia lulus SMA, dan mulai menjadi mahasiswa, sikap Ibra sudah banyak berubah. Kenapa? Apa karena dia sudah bosan dengan Luna? Atau, karena ada orang lain yang sudah menggantikan Luna?

“Luna, kenapa nggak dimakan?” tanya bunda ketika kembali ke meja makan sambil membawa piring yang berisi empat telur mata sapi.

“Ini mau dimakan, Bun.” Gadis itu kembali tersenyum lebar, dan mulai memakan nasi goreng miliknya.

***

Kini, Luna tengah berada di kantin kampus bersama dengan dua sahabatnya, Aya dan Lila. Mata kuliah mereka telah usai, tapi ketiganya sepakat untuk mengisi perut mereka di kantin lebih dulu sebelum pulang.

“Girls, sebenarnya gue mau cerita sama kalian,” ujar Aya di sela-sela acara makan mereka.

“Cerita apa?” tanya Luna.

“Gue, jadian sama Kak Agil.”

Uhuk.

Sontak saja, Luna dan Lila tersedak makanan yang tengah mereka kunyah. Aya meringis melihat reaksi yang keduanya tunjukkan.

“Demi apa lo udah jadian aja sama Kak Agil?!” tanya Luna heboh ketika dia sudah menghabiskan es teh miliknya.

“Udah semingguan, sih. Dia nembak gue, dan gue terima dia.”

“Ih, curang,” protes Lila yang membuat Aya dan Luna menoleh ke arahnya. “Kalian berdua punya pacar, gue gimana, dong? Masa jomblo sendirian. Nggak asyik.”

Luna menepuk pelan kepala Lila. “Katanya lo mau nunggu abang gue balik ke Indonesia.”
Lila mengembuskan napasnya kesal. “Meski gue setia nunggu pun, gue nggak yakin Bang Leon bakal lihat gue.”

Ya. Sudah bukan rahasia lagi, jika sahabat Luna itu diam-diam menyimpan rasa kepada Leon, kakak kandung Luna. Leon tahu betul bagaimana perasaan Lila, tapi lelaki itu pura-pura tidak memedulikannya.

Dunia LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang