Bab 8

12.9K 2K 241
                                    

Selamat Membaca










Sudah dua hari Luna tidak pulang ke rumahnya. Gadis itu masih marah dengan papanya yang masih berada di rumah. Padahal, biasanya di rumah sehari saja tidak betah. Sekarang malah tidak berangkat-berangkat. Hal yang membuat Luna kesal.

Gadis itu masih tinggal di rumah Ibra. Tentu saja tidur di kamar lelaki itu, yang membuat Ibra uring-uringan, karena dia harus tidur di sofa ruang tengah. Di rumah Ibra memang bukan hanya ada dua kamar. Ada sekitar lima kamar. Tapi, tiga kamar yang tersisa dibiarkan kosong. Tidak ada ranjang di sana. Jadi, Ibra terpaksa tidur di sofa atau karpet di ruang tengah. Tidak mungkin dia tidur bersama Luna, kan? Yang ada bundanya bisa jejeritan sehari semalam.

“Bunda, makasih sarapannya. Luna mau berangkat kuliah dulu,” kata Luna ketika Ibra baru saja tiba di meja makan.

Gadis itu berjalan ke arah bunda, dan mencium pipinya, lalu beralih ke ayah Ibra dna mencium tangannya. Setelahnya, Luna melangkah dengan riang ke arah Ibra yang masih berdiri di ujung ruang makan. Gadis itu mengulurkan tangannya, yang membuat Ibra mengerutkan kening.

“Mau apa?” tanya lelaki itu bingung.

“Mau cium tangan,” jawab Luna sambil menyengir lebar.

Ibra menggeleng pelan, dan berlalu begitu saja. Namun, baru dua langkah berjalan mendekat ke arah meja makan, langkah Ibra terhenti ketika Luna dengan bar-barnya menarik tas ranselnya.

“Apa, sih, Lun?!” tanya Ibra sambil melepaskan tangan Luna dari tasnya.

“Mau cium tangan,” ujar Luna sambil memelototkan matanya.

Ibra mendengus, hendak menolak, tapi perkataan sang bunda membuatnya tak bisa berbuat banyak.

“Udah, Bang. Luna kan cuman mau cium tangan. Apa salahnya?”

Ibra menatap ke arah Luna yang tampak tersenyum penuh kemenangan. Lelaki itu akhirnya mengulurkan tangannya ke arah Luna, yang segera diraih gadis itu, dan diciumnya sampai menimbulkan bunyi. Ibra menatapnya sambil menyerngitkan dahi, lelaki itu segera meraih tangannya lepas dari Luna.

Luna hanya tersenyum lebar, sebelum berjalang dengan riang ke teras depan. Sesampainya di teras depan, gadis itu duduk, dan mulai memakai sepatunya. Saat melirik ke rumahnya, gadis itu membulatkan matanya begitu melihat papanya tengah berjalan menghampirinya.

Gadis itu cepat-cepat berdiri, hanya dengan menggunakan satu sepatunya, dan menenteng sepatu lainnya. Lalu, segera berlari menjauh, mengabaikan teriakan sang papa yang memanggilnya.

Di ujung jalan, Luna bisa melihat mobil yang beberapa hari ini dikendarai oleh Satrio. Gadis itu segera berjalan mendekat, dan mengetuk kaca mobil Satrio dengan sepatunya yang ditenteng.

“Bang Sat, Bang Sat, buka pintu, dong! Luna mau nebeng ke kampus! Bang Sat! Luna nebeng!” teriak gadis itu cepat. Apalagi, ketika melihat papanya yang malah mengejarnya.

Satrio yang tengah berada di dalam mobil, menatap Luna dengan kesal. Masih pagi, dan gadis kecil itu sudah mengacaukan paginya yang damai ini. Meski begitu, Satrio akhirnya membuka kunci pintu mobilnya, dan Luna segera masuk begitu saja.

“Jalan, Bang Sat!” seru gadis itu tanpa permisi.

Satrio berdecak. Lelaki itu akhirnya mulai menjalankan mobilnya. Dia menoleh ketika Luna mulai menaikkan satu kakinya ke kursi. Menepuk-nepuk debu, lalu mulai memakan sepatunya.

“Makasih ya, Bang Sat! Antar Luna sampai kampus, ya,” ujar gadis itu sambil menatap Satrio dengan senyuman lebar.

Satrio hanya mendengus, tidak menjawab. Meski begitu, lelaki itu tetap melajukan mobilnya menuju kampus gadis itu.

Dunia LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang