Selamat Membaca
Minggu pagi ini, Luna sudah berada di dapur bersama dengan Bik Shasi. Bukan, bukan untuk membantu Bik Shasi memasak. Melainkan untuk menanyakan masalah tetangga baru yang enak dipandang itu.
“Jadi, dia pindahan dari Bandung, Bik?” tanya Luna yang tengah duduk di meja bar, sambil memerhatikan Bik Shasi yang tengah asyik dengan sayurannya itu.
“Iya, Mbak. Mas Satrio pindah tugas ke Jakarta. Makanya, dia bawa mamanya sekalian pindah.”
Luna manggut-manggut mengerti, tapi sedetik kemudian gadis itu menatap Bik Shasi dengan melotot. “Pindah tugas? Dia udah kerja, Bik?”
“Sudah, Mbak. Kemarin seingat bibik, dia kerja di BUMN gitu. Tapi, bibik nggak terlalu paham sama penjelasannya,” ujar Bik Shasi sambil tertawa pelan di akhir kalimatnya.
Luna hanya bisa melongo mendengarnya. Wah, pantas saja kemarin malam lelaki itu terlihat begitu dewasa dan penuh wibawa. Kerja di BUMN, dan bisa beli rumah sendiri. Tangkapan yang bagus seandainya Luna belum memiliki Ibra.
“Eh, eh, itu Bibik mau ke mana?” tanya Luna begitu dia melihat Bik Shasi tengah membawa piring yang dibawa Satrio kemarin malam.
“Mau balikin piring, sekaligus kasih sup jagung, Mbak. Bibik masak banyak, papanya Mbak Luna kan pulang hari ini.”
Mendengarnya, Luna segera berdiri dari duduknya, dan mengambil alih piring dari tangan Bik Shasi. “Bik Shasi di rumah aja. Masak yang enak. Biar piring sama sup jagungnya, Luna yang kasih.”
“Beneran nggak apa-apa, Mbak?”
“Iya, santai aja, Bik.” Gadis itu mengambil alih piring, dan mangkuk tupperware dari tangan Bik Shasi, dan berjalan dengan semangat keluar rumah.
Sesampainya di teras, gadis itu berhenti sejenak. Dia melihat penampilannya di kaca rumahnya. Celana pendek diatas lutut, dan kaus polos berwarna putih. Oke, setidaknya Luna tidak begitu dekil, meski belum mandi.
Dengan langkah semangat, gadis itu berjalan keluar halaman rumahnya menuju rumah yang berada di depannya itu. Luna bahkan tidak sadar, jika di halaman rumah di sampingnya, Ibra tengah mencuci mobil miliknya. Lelaki itu mengikuti ke mana Luna melangkah, sampai akhirnya ketika gadis itu tiba di rumah Satrio, dia mendengus kesal.
Kenapa Luna ke rumah itu pagi-pagi begini? Dan, ke mana piama bergambar miliknya? Kenapa digantikan dengan celana pendek seperti itu?
Sedangkan Luna tengah menatap penuh binar kepada pintu masuk rumah Satrio yang terbuka itu. Tangganya mengetuk pelan pintu, hingga kemudian matanya menangkap sosok Satrio yang tengah mengenakan kaus hitam dan celana panjang, sambil meminum secangkir kopi, berjalan ke arahnya.
“Pagi, Bang Sat.”
Uhuk.
Satrio tersedak kopi yang tengah dia minum begitu dia mendengar sapaan kelewat semangat dari Luna. Apa tadi gadis itu bilang? Bangsat?
“Pelan-pelan atuh. Luna nggak suka kopi. Jadi, nggak akan minta,” ujar gadis itu sambil tersenyum lebar ke arah Satrio.
Sedangkan Satrio menatapnya horor. “Ngapain?”
“Kenalan dulu, dong.” Luna mengulurkan tangannya kepada Satrio.
Satrio yang merasa heran, hanya menjabat sedikit tangan Luna, yang membuat gadis itu menariknya dengan brutal.
“Namaku Aluna Wibisono. Panggilannya Luna. Kalau buat Bang Sat, manggil istri juga boleh.”
Lelaki itu menggeleng, dan langsung menarik tangannya dari Luna. Gadis itu aneh dan menakutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Luna
Teen FictionKarena saling mengenal sejak lama, tidak akan menjamin berakhir bersama. Begitu pun dengan dia yang menemanimu dalam masa sulit, di garis akhir belum tentu dia orang yang berhasil mendampingimu. Manusia hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang me...