Bab 2

16.3K 2.2K 132
                                    

Selamat Membaca












Di sinilah mereka pada pukul setengah satu pagi. Duduk bersama di sofa ruang tengah. Luna duduk di samping bunda Ibra dengan bibir mengerucut. Sang ayah duduk di sofa tunggal, sedangkan Ibra duduk bersebrangan dengan gadis itu.

“Bukan salah Ibra,” ujar lelaki itu begitu melihat sang ayah yang seolah memberinya intruksi untuk memulai percakapan lebih dulu.

“Terus, salah Luna gitu?!” sahut gadis itu terdengar sewot.

Ibra memandangnya lurus. “Siapa suruh tidur di kamar cowok?”

“Siapa suruh Abang pulang?” balas gadis itu tak kenal takut, meski ada kedua orangtua lelaki itu di sini.

“Ini rumahku,” balas Ibra sambil memberikan pelototan tajam ke arah kekasih manjanya itu.

Luna menciut di tempatnya. Gadis itu menoleh, dan memberikan tatapan memelas kepada bunda Ibra, yang membuat wanita itu menatap anaknya penuh peringatan.

“Abang, kalau ngomong sama Luna yang lembut, dong.”

Ibra mengembuskan napasnya pelan. Selalu saja begitu. Gadis itu mampu menarik perhatian sang bunda.

“Sudah, sudah.” Kali ini ayah Ibra yang berucap. “Luna sayang, kejadian tadi nggak disengaja. Ibra sekarang juga mau minta maaf, Luna maafin, kan?”

Ibra menatap protes ke arah sang ayah. Mana bisa dia yang disuruh minta maaf? Gadis itu yang tidur di kamarnya tanpa permisi. Jadi, maklum saja kan kalau Ibra menganggapnya sebagai guling.

Kalau tangannya bertindak salah, itu di luar batas kesadarannya, kan?

“Ibra, minta maaf.” Ayahnya menatap Ibra tegas.

Lelaki itu mengembuskan napasnya pelan. Dia mengulurkan tangannya ke arah gadis itu. “Maaf.” Dia memandang tajam ke arah Luna.

“Tuh, Abang nggak iklas bilang maafnya,” adu Luna kepada bunda, yang membuat wanita itu memanggil Ibra dengan penuh peringatan.

“Abang.”

Ibra kembali mengembuskan napasnya pelan. Mencoba mengatur emosinya menghadapi kekasih manjanya itu. “Luna, maafin abang, ya.”

Luna tersenyum lebar. Gadis itu menyambut uluran tangan Ibra, dan menghentaknya pelan. “Dimaafin.” Setelahnya, gadis itu melepaskan uluran tangan mereka.

“Yaudah, saatnya tidur!” seru ayah Ibra dengan semangat.

“Luna tidur di mana?” tanya gadis itu yang membuat semua menoleh ke arahnya.

Ibra memandangnya mengejek. “Pulang sana.”

Gadis itu cemberut. “Mana berani,” cicitnya pelan.

“Luna tidur sama bunda di kamarnya bunda, ya,” ujar sang bunda yang membuat sang suami menatapnya horor.

“Terus, ayah gimana, Bun?”

“Tidur sama Abang.”

“Bun!” seru Ibra tidak setuju.

Pasalnya, setiap kali bunda marah, dan menyuruh sang ayah untuk tidur bersamanya. Ayahnya itu selalu menyuruhnya tidur di bawah, hanya beralaskan karpet. Ingin melawan, tapi Ibra masih paham bagaimana kisah Maling Kundang.

“Apa? Abang nggak mau nurut omongannya bunda?”

Mendengar itu, Ibra hanya bisa kembali mengembuskan napasnya pelan. Dia mana bisa melawan perkataan sang bunda?

Dunia LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang