Bab 5

13.2K 2.1K 301
                                    

Selamat Membaca












Luna pulang ke rumahnya diantar oleh Agil dan Aya. Sedangkan, Surya memilih mengantar Lila karena arah rumah mereka berbeda. Luna menatap ke depan, di mana Aya dan Agil tengah menoleh ke arahnya.

“Kak Agil, jangan dimarahi teman gue. Kalau mau marah, ke gue aja. Gue yang ajak Aya sama Lila,” ujar Luna sambil menatap ke arah Agil.

Agil meringis pelan. Dia mana berani memarahi kekasih Ibra itu. Lagi pula, meski Luna bukan kekasih Ibra, Agil rasa dia tetap enggan berurusan dengan amarah Luna. Gadis itu kalau marah, sudah seperti macan. Agil tidak mau berurusan dengan macan cantik itu.

“Sana masuk, Lun. Istirahat. Nanti agak malaman, gue sama Lila ke rumah lo. Kita berdua nginap,” kata Aya.

Luna mengangguk. “Makasih, Kak Agil. Kalau gue tahu lo marahi teman gue. Gue bantai juga lo."

Aya tertawa mendengarnya, sedangkan Agil hanya mengangguk patuh. Luna tersenyum menatap keduanya, sebelum membuka pintu, dan berjalan keluar mobil menuju ke dalam rumahnya.

Luna memasuki rumahnya yang sepi itu. Gadis itu disambut dengan heboh oleh Pak Somat dan Bik Shasi.

“Mbak Luna, nggak apa-apa? Kok, nggak pakai sepatu? Ke mana sepatunya?” tanya Bik Shasi begitu Luna duduk di sofa ruang tengah.

Gadis itu menggeleng sembari tersenyum. Dia menatap ke arah kakinya yang tampak memerah karena sempat berjalan menjauh dari kampus, sebelum mobil Agil menghampirinya. Dia melihat ke arah ponselnya, bahkan sampai sekarang Ibra belum juga menanyakan kabarnya.

Pacar sialan!

“Sepatunya Luna buang, Bik.”

“Mbak Luna sudah makan? Tadi, Pak Somat beli mie ayam bakso, soalnya lagi pengen. Mbak mau?” tanya Pak Somat yang sudah menganggap Luna sebagai anaknya sendiri itu.

Luna menggeleng dan kembali tersenyum. “Pak Somat sama Bik Shasi makan aja. Luna nggak apa-apa. Mau ke kamar dulu. Nanti kalau lapar, Luna ke bawah.” Setelahnya, gadis itu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, meninggalkan Pak Somat dan Bik Shasi yang menatapnya penuh kebingungan.

***

Saat malam menjelang, Luna berjalan menuruni tangga untuk makan malam. Tapi, gadis itu terhenti di anak tangga terakhir. Matanya menatap lurus ke arah sosok yang berada beberapa langkah di depannya.

Di sana, Ibra tengah berdiri sambil menenteng sepatu Luna, dengan menggunakan celana kain panjang berwarna putih, dan kaus polos berwarna coklat.

Luna menatapnya sekilas, sebelum melanjutkan langkahnya menuju ke arah dapur. Gadis itu bahkan tidak peduli dengan Ibra yang mengikuti langkahnya dalam diam.

Luna itu berjalan ke arah kulkas, dan mengambil kaleng cola dari dalam sana. Hendak membukanya, tapi suara Ibra menghentikannya.

“Jangan minum cola. Kamu belum makan.”

Gadis itu mencibir pelan. Lagi-lagi dia tidak memedulikan perkataan Ibra, dan melanjutkan kegiatannya yang hendak membuka kaleng itu. Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan mendahuluinya, dan mengambil kaleng cola itu dari tangan Luna.

“Balikin colaku,” ujar gadis itu yang kini sudah membalikkan badannya dan menatap Ibra sinis.

Ibra menggeleng pelan. Dia malah membuka kaleng itu, dan meminumnya hingga habis. Luna melongo melihatnya.

Gadis itu membalikkan badannya, dan hendak kembali membuka kulkas. Tapi, lagi-lagi tangan Ibra mendahuluinya. Lelaki itu mengukung tubuh Luna dengan badannya.
Luna kembali menatap ke arah Ibra. Kentara sekali amarah tengah menyelimuti gadis itu sekarang.

Dunia LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang