10. Rahasia Hisyam

150 19 2
                                    

Kehidupan bak permainan rubrik. Semakin kau mainkan semakin menarik. Logika dan rasa saling memekik. Setiap kepingan puzzle memiliki trik. Dan sebagai penyempurna rasa kau harus bercumbu dengan intriks.
_________________&&&_________________

Jantung Adiva tiba-tiba berdebar kencang saat langkahnya terhenti tepat di depan teras rumah megah dengan pilar-pilar besar di sisi kiri dan kanannya, untuk kedua kali ia menginjakkan kaki ke dalam rumah bermodel modern klasik itu.

Ia tarik nafas dalam-dalam sebelum ia ikuti langkah Azzam.

"Assalamualaikum...," ucap Azzam sembari membuka pintu kayu jati besar dengan ukiran yang mengelilingi tiap sisinya.

"Waalaikumsalam..." Terdengar suara balasan dari arah dalam rumah.

Tak lama muncullah wanita berusia sekitar setengah abad yang masih menyisakan jejak-jejak kecantikan di masa senjanya. Wanita dengan wajah bulat, putih, dan cantik itu masih tampak lincah dengan pakaian daster batik kesayangannya. Tampak guratan-guratan halus itu tertarik membentuk sebuah senyuman lembut.

"Loh pengantin baru pulang, kok nggak bilang-bilang dulu sih Le, kan ibu bisa masak spesial buat kalian," ucap Arumi ibu Azzam dengan tatapan sendu bergelung rindu.

Azzam dan Adiva segera meraih tangan Arumi dan mencium punggung tangannya bergantian.
Mereka ngobrol sebentar saling menanyakan kabar.

"Bu saya dan Adiva ke kamar sebentar ya? Naruh tas dulu," pamit Azzam setelah meletakkan dua kardus oleh-oleh titipan dari orang tua Adiva.

"Iya sana masuk dulu, ibu bantu Bi Mirah nyiapin makan siang dulu ya?" Balas Arumi sembari mengelus bahu Adiva dengan sayang saat Adiva menawarkan diri akan membantu Arumi.

"Kita istirahat sebentar sekalian sholat dzuhur dulu Dik," terang Azzam yang seketika mendapat anggukan kepala Adiva.

"Mas, aku sungkan sama ibu, beliau masak aku malah santai di kamar sih," ujar Adiva yang sudah duduk di tepi ranjang.

Klik. Azzam menyalakan AC kamarnya untuk menghalau udara panas setelah perjalanan jauh, karena sudah lama tinggal di Jombang kini saat ia berada di kota kelahirannya justru ia tidak betah karena udara panasnya.

"Ada Bi Mirah yang membantu ibu," balas Azzam lalu melepas jarum pentul di jilbab Adiva, ia lepas jilbab adiva lalu meletakkannya di atas meja rias. Azzam merebahkan tubuhnya lalu disusul Adiva yang bersandar di dadanya.

"Kita bersantai dulu, bentar lagi ayah pulang dari toko, dan sepertinya Hisyam sedang di rumah juga," terang Azzam sambil membelai rambut Adiva, tanpa Azzam sadari perkataannya membuat Adiva gugup seketika.

Adiva belum siap bertemu Hisyam setelah acara pernikahannya dan Azzam waktu itu. Adiva bukanlah gadis lugu yang tidak tahu mengenai perasaan seseorang padanya. Apalagi Hisyam pernah menyatakan perasaannya sewaktu ia masih duduk di bangku kelas 12 SMA, dan Adiva pun baru tahu jika kepala Laboratorium IPA_nya itu adalah adik kandung Azzam, suaminya.

"Oya Mas lupa terus mau nanya, kamu udah kenal Hisyam kan? Dia kan karyawan di sekolah kamu dulu," ucap Azzam yang semakin membuat Adiva bingung harus menjawab apa.

"I iya Mas, Pak Hisyam dulu kepala Lab IPA di sekolahku," jawab Adiva berusaha bersikap senormal mungkin. Adiva hanya takut Hisyam akan mengacuhkannya seperti dulu.

Flashback On

"Adiva kamu mau nggak jadi calon istri saya?" Tanya Hisyam sewaktu mereka hanya berdua di ruang laboratorium.

"Hahaha, Pak Hisyam bisa aja nanti di kira orang pedofil loh," tawa Adiva membahana dalam ruangan yang hanya berpenghuni mereka berdua.

"Ya nggaklah Adiva, usia kamu 18 tahun dan saya baru 25 tahun, cuma selisih 7 tahun, saya tunggu sampai kamu lulus kuliah nggak masalah kan?" terang Hisyam tanpa menoleh ke arah Adiva yang kini menatapnya dengan seringai jail. Hisyam masih serius membereskan dan menata peralatan lab ke dalam lemari kaca setelah dipakai praktikum anak kelas Adiva.

Tiga Hati Satu Cinta (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang