Live A Life

1.3K 179 50
                                    


∆^^∆

Mobil butut yang sudah berkarat dan sering ngadat itu menghentikan suara mesin bisingnya di tepi jalanan yang sepi, sedangkan di pengemudi sedang bersusah payah melepas sabuk pengaman yang sama tuanya.

Akhirnya tubuhnya dapat bebas, dan tanpa pikir panjang keluar dari dalam mobil kumuh yang lebih terlihat seperti rongsokan itu. Dirinya harus hati-hati dalam membuka pintu mobil jika tak ingin berakhir seperti beberapa bulan lalu, lembar pintu itu terlepas dari engselnya dan jatuh ke jalanan dengan bebas.

Pandangan matanya jatuh pada sosok pria yang kini terduduk di tanah aspal dengan mata terpejam, sepertinya tertidur karena menunggu kedatangannya. Hujan telah berhenti sejak beberapa menit yang lalu, namun dinginnya masih menusuk tulang. Terlebih jaket yang melekat di tubuh keduanya tak lagi memiliki fungsi untuk menghangatkan.

Pria itu adalah seseorang yang ia kenal setahun yang lalu, dan jadi satu-satunya orang yang ia percaya setelah hidup dalam kepalsuan. Mereka bertemu di masa ketika ia jatuh terpuruk, benar-benar berada di bawah rata-rata kesengsaraan, dan sosok itu adalah satu-satunya alasan kenapa ia masih memilih untuk bangkit meski kedua kakinya telah pincang, kala itu.

Ia menjalani sisa hidupnya dengan malapetaka tiada henti, bertubi-tubi. Saat tubuhnya hampir terdorong oleh kencangnya hembusan angin hari itu, yang mana ketika ia jatuh nantinya, tubuh akan hancur berkeping-keping, karena berhantaman keras dengan aspal yang kasar.

Namun usaha angin kala itu gagal, ketika tangannya di tarik untuk turun dari pembatas atap gedung sekolah yang terbengkalai.

Tubuhnya jatuh diatas permukaan yang tak empuk maupun keras, namun sedikitnya cukup membuat gemetar pada dirinya berkurang, karena tidak jadi terjun dari atas gedung tersebut. Matanya menutup rapat, bibir yang digigit telah mengucurkan darah segar yang lumayan.

"Seenggaknya, buat diri lo pantas dulu kalo mau mati."

Memantaskan diri untuk mati.

Perkataan itu membuatnya menangis sejadi-jadinya. Entah apa penyebabnya, namun tangannya yang gemetar mencengkram erat pakaian pria yang menyelamatkan hidupnya kala. Di sela isakan yang bersahutan dengan gemuruh petir itu ia berterima kasih. Karena di beri kesempatan untuk membuat diri menjadi lebih pantas, ketika mati nanti.

"Lo nggak mau bantuin gue?"

Lamunan akan masa lampau itu buyar. Saat suara serak pria pemberi kesempatan hidup untuknya itu menyapa telinganya. Segera ia menghampiri orang itu, untuk membantunya bangun dan memapah tubuh yang kelewat jangkung itu masuk ke dalam mobil.

"Gue gak ngerti kenapa tiap hari lo harus berantem gak jelas." Lengan itu ia kalungkan pada lehernya, dan tangannya berada di pinggang si jangkung. Membantu tubuh yang lebih tinggi darinya itu untuk bangun. Meski ia bertubuh bugar, tetap saja rasanya tidak sepadan.

"Salah mereka cari perkara duluan."

Kali ini mereka, biasanya hanya dia atau beberapa. Pantas saja wajah tampannya tak lagi dapat terlihat, tertimbun berbagai macam bentuk luka dan lebam.

"Lo nggak harus ngeladenin semua orang yang gangguin lo. Ada pilihan buat pergi daripada babak belur gini. Buang-buang tenaga."

Yang di bopong terkekeh pelan setelah ia berbicara dengan sedikit dengkusan letih, yang dirinya tahu omelan itu tidak akan digubris.

"Kalo mereka gangguin gue, bodo amat terserah. Masalahnya mereka bilang lo itu pelacur murahan. Semua orang boleh ludahin muka gue tanpa perlu gue bales, tapi kalo ke lo, gue gak bisa tinggal diam."

Pelacur murahan, ya?

"Mereka nggak salah juga," ucapnya, lirih, nyaris tak terdengar, meski pada akhirnya dapat di tangkap dengan jelas oleh temannya.

Tubuh jangkung itu di dudukkan pada jok mobil yang berderit dan busanya sudah rontok. Memposisikan kaki panjang itu agar dapat tertekuk nyaman, dan ia kembali pada kursi pengemudi setelah menutup pintu mobil tak kalah hati-hati.

"Walaupun mereka gak salah, bukan berarti bisa seenaknya ngomong jelek tentang lo. Especially when they still ask you to suck their dick pathetically."

Dan satu masa datang lagi dimana ia merasa belum pantas untuk mati.

∆^^∆

Kontrakan kumuh yang tak bisa disebut sebagai rumah itu di dipenuhi kardus-kardus tak terpakai, baik di luar rumah maupun di dalam. Namun dua pemilik itu sama sekali tak keberatan, karena ketika mereka benar-benar kelaparan dan punya sepeser recehan, kardus itu setidaknya bisa membuat perut mereka terisi mi rebus yang bisa membuat kenyang hingga esok hari.

Letaknya berada di sudut perumahan, dekat saluran air yang selalu menguarkan bau tak enak, dan berada di bawah tanah hingga lebih terlihat seperti rumah tikus. Bahkan kadang di depan rumah mereka terdapat laki-laki mabuk yang kencing sembarangan.

Seo Changbin, salah satu penghuni rumah itu baru saja selesai membersihkan diri pada kamar mandi yang berada di bawah kata minimalis. Kedua sisi bibirnya lecet, karena pada malam sebelumnya telah mengulum kurang lebih lima batang kemaluan dalam waktu berdekatan. Namun dirinya tak peduli, toh karena itu kini mereka bisa makan ayam dan berkaleng-kaleng bir untuk sarapan.

Pandangan matanya jatuh pada punggung lebar tanpa sehelai benang milik teman serumahnya, Hwang Hyunjin. Tengah merokok sambil menonton tayangan televisi yang tak pernah berganti salurannya tersebut.

Ia memutuskan untuk bergabung dengan pria itu, mengambil tempat untuk duduk di hadapannya, berada di antara kedua kaki jenjang yang dikangkangkan lebar tersebut. Hyunjin tidak mengenakan apapun selain celana pendek sebatas paha.

Mendapati kehadiran Changbin, Hyunjin segera menyelipkan batangan rokok itu di antara belah bibirnya yang tebal dan pada pinggirannya sudah cukup menggelap, dan kedua tangannya melingkar di pinggang lelaki yang lebih tua.

Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Namun Hyunjin lebih terlihat mendominasi, entah mungkin karena tubuhnya yang lebih tinggi dari Changbin atau apa.

Ia menarik tubuh Changbin agar lebih mendekat padanya, yang lebih tua pun mengerti dan segera menggerakkan pantatnya agar memindahkan posisi duduknya menjadi lebih mundur. Kedua telapak besar milik Hyunjin yang berada di atas perutnya ia genggam, dan kepalanya bersandar pada dada bidang itu.

Changbin mengambil alih rokok yang ada di bibir Hyunjin untuk ia hisap, dan membiarkan lelaki itu untuk menghisap kulit lehernya yang masih menguar aroma sabun murahan selagi keduanya menikmati tontonan acara pagi di televisi bekas yang Hyunjin curi dari tukang loak.

"Lo tau nggak, salah satu kameraman acara itu, kepalanya pecah dan hampir mati tadi malam. Mungkin sekarang lagi sekarat." Hyunjin berbicara tepat di telinganya, pelan dan merdu. Changbin memejamkan mata.

Oh, salah satu orang yang mengatainya pelacur kemarin malam.


∆^^∆

∆^^∆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MONSTER | H.Hyunjin & S.Changbin| 1 |19+ [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang