Setelah ayahnya mengatakan hal penting itu, hal penting yang harus ia patuhi apa pun dan bagaimana pun, Alvendra hanya bergeming. Ia tidak mengiyakan dan tidak juga menolak. Bukankah itu tidak penting lagi baginya memikirkan penolakan? Lagi pula apa yang sudah seorang Wijaya kehendaki maka harus dilaksanakan.
Ya, ini lebih baik. Daripada memintaku untuk bertunangan dengan gadis yang sama sekali tidak kucintai. Walaupun nantinya dia pasti akan memintaku untuk bertunangan. Al membatin.
Makan malam pun usai. Wijaya kembali ke kursi rodanya, kemudian Yasmin membawanya kembali ke kamar.
Alvendra menjadi orang kedua yang beranjak dari meja makan. Diikuti Clara yang mengejar langkahnya. Sedangkan Attha masih duduk berhadapan dengan Marsya. Keduanya bergeming dalam pikiran masing-masing.
Kenapa dia diam saja. Menyebalkan sekali. Hiks. Marsya tampak cemberut.
Attha mengamati Marsya sejenak, masih dengan senyum samar di wajah tampannya. Lalu berdiri dan berjalan meninggalkan meja makan tanpa mengatakan apa pun.
Ah, menyebalkan! Marsya beranjak, mengekor di belakang Attha.
Sementara Al naik menuju kamarnya di lantai atas. Clara masih mengikuti dan Al membiarkannya. Al tahu, gadis itu pasti ingin mengatakan sesuatu.
Sesampainya di depan kamar, Al berhenti, berbalik badan. Membuat Clara langsung menatapnya.
“Ada yang ingin kau katakan?” Bertanya dengan dingin.
“Aku ... hanya ingin mengucapkan selamat padamu.” Clara menjawab sembari tersenyum cerah. ‘Setidaknya dia mau bicara denganku, kan.’
“Selamat untuk apa?”
“Karena mulai besok, kau akan mulai mengambil posisi terpenting di kantor, kan?”
“Sudah selesai?”
“Hah?” Clara menatap dengan wajah bingung.
“Ucapan selamatnya.”
“Eh, iya. Sudah.” Menunduk dengan sedikit kesal.
“Kalau begitu pulanglah.” Al berbalik dan berjalan masuk ke kamarnya.
Pintu tertutup rapat.Clara mendesah. Haruskah aku bersikap merendah di hadapanmu, Al? Bahkan di luar sana banyak sekali lelaki yang menginginkanku. Mereka memuji kecantikanku. Apa aku tidak cantik di matamu? Dasar es!
Saat Clara hendak turun dari lantai atas. Ia berhenti sejenak karena melihat Attha dan Marsya tengah berbicara.
“Sayang,” panggil Marsya.
“Hm ....” Attha menatap kekasihnya itu lekat-lekat.
“Kapan kau akan pergi?” Marsya bertanya sembari terisak.
Attha tersenyum samar melihat wajah kekasihnya yang basah. “Lusa aku berangkat.”
“Aku tidak bisa jauh darimu,” isak Marsya.
“Ya, ampun. Kenapa kau menggemaskan sekali, sih.” Attha menyentuh lembut pipi wanitanya itu.
“Apa kau senang akan tinggal jauh dariku?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa kau tidak menolak pada ayahmu?”
“Memangnya ayahku bisa dikompromi?”
Marsya terdiam. Dia tahu Tuan Besar Wijaya itu seperti apa. Attha pernah menceritakannya.
“Apa kau takut kehilanganku?” Attha mendorong tubuh Marsya pelan, memojokkannya ke dinding. Kedua tangan kekarnya mengunci tubuh Marsya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love On The Run (Tamat)
Romance(Khusus dewasa) Dijodohkan. Siapa yang mau? Apalagi dengan seseorang yang sama sekali tidak kau cintai. "Perjodohan itu hanya ada di dalam novel. Jadi, jangan jadikan aku tokoh utama dalam novel perjodohan kalian!" Begitulah Alvendra yang bersikukuh...