Kunci Mobil

50 2 0
                                    

Sebulan berlalu begitu cepat. Alvendra melakukan tugasnya sebagai seorang CEO dengan cukup baik. Pelan-pelan ia dapat beradaptasi dengan lingkungan perusahaan. Termasuk beradaptasi dengan Sekertaris Yan. Al mulai memahami lelaki yang selalu bersikap super waspada itu. Al sudah terbiasa dengan amukan Yan terhadap para pekerja yang kurang disiplin atau tidak melakukan tugasnya dengan benar.

Sekertaris Yan mendampingi Al dengan sangat baik, hingga Al merasakan bagaimana kerasnya kerja seorang Sekertaris Yan. Sekertaris jomlo itu selalu berada di sisi Al ke mana pun Al pergi, kecuali tidur dan mandi tentunya, ha-ha. Pokoknya, Sekertaris Yan dan Alvendra sudah seperti kertas dan pulpen yang saling melengkapi cerita di setiap hari. Kecuali hari Minggu, karena libur, maka Al akan menghabiskan waktunya di kamar.

Sedangkan Attharazka, ia telah meluncur ke Singapura. Attha yang mengurus perusahaan di luar negeri pun mulai merasakan bagaimana rasanya LDR yang menyesakkan rindu. Sudah hampir sebulan ia melakukan tugasnya di luar negeri. Meski awalnya sulit, karena ia begitu khawatir terhadap Marsya, tapi lambat laun mereka berdua bisa saling mengerti. Attha pulang seminggu sekali demi membayar kerinduannya terhadap kekasihnya itu. Mereka akan meluangkan waktu khusus untuk bersama tatkala Attha pulang ke Indonesia.

Clara Zayna Syahreza—putri almarhum Zayn Syahreza. Dia adalah seorang dokter kecantikan. Clara melakukan tugasnya sebagai seorang Dokter Estetika di sebuah rumah sakit terbesar di kotanya.

Selain itu, ia juga masih membuka klinik kecantikan.
Clara masih berusaha keras untuk mendapatkan hati Alvendra. Kadang-kadang, Clara mengunjungi Al di kantor Alattha Group, sekadar mengantarkan makanan atau kue. Ya, hanya alasan itu yang dapat ia gunakan untuk menemui Al. Namun tetap saja, Al sama sekali tidak tertarik padanya. Al tetap membenci perjodohan itu.

***
Hari ini adalah hari Minggu. Alvendra libur bekerja. Ia tengah merenung di kamarnya. Al duduk bersandar di kepala ranjang. Tangannya tengah memegang sebuah foto seorang gadis. Gadis cantik yang tengah tersenyum manis sekali.

Al menatap senyum yang tersungging di bibir gadis tersebut. Perlahan, ia mendekatkan foto gadis itu ke bibirnya. Al membayangkan ciuman pertamanya bersama gadis itu tujuh tahun yang lalu. Ciuman pertama sekaligus ciuman terakhir, karena setelah itu, mereka tidak pernah berciuman lagi. Gadis itu hilang begitu saja. Hanya sebuah surat yang menyatakan bahwa gadis tersebut memutuskan hubungannya dengan Al.

Bukannya Al membiarkan gadisnya pergi begitu saja. Al sempat mencari keberadaan gadis tersebut, tapi tidak ada informasi apa-apa lagi soal kekasihnya. Semua turut lenyap begitu saja. Hingga saat itu ....

(Flash Back—tujuh tahun yang lalu)

Al baru saja pulang dari tempat kekasihnya itu tinggal. Tangannya tengah menggenggam sebuah surat. Air mukanya begitu lelah. Ia tak dapat menemukan informasi apa pun tentang keberadaan dan kepergian gadisnya. Al berjalan menaiki tangga, menuju kamarnya. Dan tanpa sengaja, ia mendengar percakapan ayahnya di telepon.

“Apa gadis itu sudah enyah?”
Al menghentikan langkahnya, memasang telinganya baik-baik.

“Bagus. Urus segalanya dan jangan biarkan gadis itu muncul lagi di hadapan putraku!”

Al terkejut bertubi-tubi mendengar hal itu. Tubuhnya gemetar karena amarah. Hatinya bak kejatuhan bom atom yang ledakannya sampai ke ubun-ubun. Tulang-tulang rusuknya seakan retak satu per satu. Jadi, ini semua adalah perbuatan ayahku?! Tangan Al mengepal erat, mengakibatkan kertas di tangannya setengah sobek. Dengan langkah penuh amarah, Al naik dan menghampiri ayahnya yang tengah berdiri di sisi jendela.

“Ayah!!” Al berteriak dengan geram.

“Al, kau sudah pulang?” Wijaya bertanya dengan wajah terkejut.

“Jadi, Ayah adalah dalang di balik semuanya?!”

“Jadi, kau juga sudah mendengar semuanya?”

“Bagaimana bisa ada orang sepicik Ayah!”

Yasmin yang mendengar keributan di lantai atas pun segera menghampiri.

“Ada apa ini?” tanya Yasmin begitu mendapati Al dan suaminya tengah bertengkar.

Al tidak menoleh ibunya. Ia hanya fokus menatap ayahnya dengan tatapan kebencian. “Di mana pacarku, Yah! Kau apakan dia?!”

Wijaya bergeming.

“Jawab, Ayah!!”

“Al!” Yasmin menyentuh pundak putranya dengan khawatir.

Al mengempaskan tangan ibunya. “Katakan sekarang!!” Menatap ayahnya dengan bola mata berapi-api.

“Apa kau benar-benar ingin menghancurkan hidupku?! Kau egois, Ayah. Kau tidak mementingkan kebahagiaanku!”

“Justru ini semua kulakukan karena aku ingin membahagiakanmu,” elak Wijaya.

“Dengan memisahkan antara aku dengan Nara?! Itu yang kau bilang membahagiakan? Bahkan aku bisa mati bila tanpanya!”

“Al, ada apa ini?” Yasmin memperhatikan keduanya dengan bingung.

“Kau adalah putraku yang bodoh!” Wijaya memalingkan pandangannya ke arah jendela, membelakangi Al.

“Aku sudah mendengar semuanya, Ayah! Kau adalah dalang di balik kepergian Nara!”

“Al, kau hanya bisa mendengar, tapi tidak bisa melihat!”

“Melihat apa? Melihat bahwa kau adalah malaikat yang bisa membahagiakanku? Kau bahkan sangat picik, Ayah. Kau sudah tak pantas kupanggil sebagai ayahku lagi! Kau hanya seorang pengecut! Menghalalkan segala cara untuk menghancurkan impian putranya, kau pikir itu membahagiakan?! Kau hanya seorang iblis!!”

PLAK!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Al. “Jaga bicaramu itu. Dasar anak kurang ajar! Anak tidak tahu diuntung!!”

“Sudah, Ayah,” sergah Yasmin panik. Ia segera menahan suaminya agar tidak bertindak lebih.

“Pukul! Ayo pukul lagi! Kalau perlu, sekalian saja bunuh aku!!” Al menantang ayahnya dengan emosi meluap-luap.

“Al, sudah. Jangan teruskan ucapanmu itu!” Yasmin melerai keduanya.

“Baik. Lakukan saja apa yang kau mau. Mulai sekarang, aku tidak akan memanggilmu AYAH lagi!!” Al berbalik, beranjak menuju kamarnya.

Sementara Yasmin tengah menenangkan suaminya, Attha tengah terpaku di ujung tangga, mendapati kejadian tersebut.

(Flash Off—kembali ke masa kini, ya?)

Al menghela napas dalam-dalam. Kejadian tujuh tahun yang lalu masih terkenang lekat di dada dan memori otaknya. Tanpa ia sadari, ia tengah mengepalkan erat kedua tangannya, sembari menatap foto Nara—cinta pertamanya. Ada bulir-bulir bening berjatuhan dari sudut matanya. Embun yang masih terus menetes setiap kali Al mengingatnya. Mengingat semua kenangan pahit yang memisahkan dirinya dengan Nara—gadis pemilik hatinya sampai saat ini.

Alvendra menyeka air-air yang mulai berjatuhan membasahi pipinya. Disimpannya kembali foto itu di dalam laci. Setelah itu, Al berjalan keluar dari kamarnya.

“Tuan Muda mau ke mana?” Pak Nur yang tengah berpapasan dengan Al bertanya.

“Siapkan mobil untukku!”

Ada firasat aneh di benak Pak Nur saat memperhatikan tuan mudanya itu.

“Apa ... Anda akan pergi ke kantor?” Pak Nur tahu ini hari Minggu. Tuan mudanya itu libur.

“Apa selain ke kantor, aku tidak boleh pergi ke mana-mana?”

Ada apa dengan Tuan Muda, ya? Entah mengapa dia tampak sedikit aneh. Apa dia tengah marah? Apa suasana hatinya sedang tidak baik? Pak Nur memperhatikan raut wajah Al seksama.

“Tentu saja. Saya akan menyiapkan sopir pribadi untuk Anda. Atau saya perlu menghubungi Sekertaris Yan untuk menemani Anda?”

Apa aku masih anak-anak dan tidak bisa bepergian sendiri? Apa semua orang takut aku hilang dan tersesat? Bahkan aku sudah tersesat berada di rumah ini. Al membatin dengan sinis.

“Aku hanya minta kunci mobil. Berikan padaku!”

“Tapi, Tuan.”

Al menatap Pak Nur tajam. “Berikan!”

Pak Nur bergeming sejenak. Ada perasaan khawatir terhadap tuan mudanya. Yang pertama, ia khawatir bila sesuatu terjadi pada Al. Kedua, karena Tuan Besar Wijaya dan Sekertaris Yan sudah memperingatkan Pak Nur agar tidak membiarkan Al bepergian sendiri.

“Tuan.”

Al menghela napas kasar. “Aku hanya ingin pergi jalan-jalan sebentar, Pak Nur. Kenapa kau khawatir sekali. Aku akan pulang secepatnya.” Al mengganti tatapan dan nada bicaranyaa menjadi lebih  santai. Mungkin dengan cara ini, ia bisa meluluhkan hati Pak Nur.
Pak Nur masih ragu.

“Pak Nur,” panggil Al lembut sembari menerbitkan senyum.

Senyum yang bahkan masih tampak mencurigakan di benak Kepala Asisten Rumah Tangga tersebut. Kok, saya merinding melihat senyum Anda, ya, Tuan Muda. Apa karena Anda jarang tersenyum? Pak Nur menyentuh tengkuknya sendiri.

Bersambung ....

Kisah Love On The Run, selengkapnya ada di Novelme, ya? Dengan judul yang sama dan Author yang sama. Thank you ...!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love On The Run (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang