Gadis Di Lampu Merah

48 4 0
                                    

Kedua mobil itu beranjak meninggalkan bandara. Mobil Attha melaju mendahului mobil Clara. Sedangkan di dalam mobil Clara, Alvendra hanya diam.

“Kau tak banyak berubah, ya,” ujar Clara mencoba menghangatkan suasana dengan mengajak Al ngobrol. Kau tidak berubah Al. Masih saja bersikap dingin seperti ini padaku.

Al tak menyahut. Tetap cuek.

Clara tersenyum, melirik Al sesaat. “Kau tak banyak berubah. Hanya ... terlihat semakin tampan.”

Cih! Aku memang tampan sedari lahir.

“Kalau kau tersenyum, akan terlihat lebih tampan lagi.”

Tanpa tersenyum juga, aku tetap tampan. Membatin dengan percaya diri.

Ck. Bagaimana bisa ada lelaki sedingin es begini, ya? Clara masih bisa memahami sikap Al terhadapnya. Dia tahu, Al tidak menyetujui perjodohan ini. Akan tetapi, Clara justru sangat menginginkannya. Meski terkesan egois, tetapi ia masih bersikeras mendapatkan hati Al. Jika saat itu Al bisa kekeuh menghindari Clara dengan cara memperpanjang study-nya di Amerika. Mungkin akan berbeda dengan sekarang, Al akan tinggal di Indonesia. Itu artinya, ada banyak kesempatan untuk Clara terus mendekati Al. Menerobos dinding ruang hati Al. Entahlah, apa itu mungkin?

“Al,  aku merindukanmu.”

Baru saja mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba Clara mengerem mobilnya mendadak. Hampir saja ia menabrak sepeda motor yang ada di depan mobilnya. Sepeda motor itu tiba-tiba menyalip mobil Clara, yang mengakibatkan Clara terkejut dan hampir menabraknya.

Aih, hampir saja. Clara menghela napas kesal. Ia turun dari mobil untuk menegur pengendara sepeda motor tersebut. Kurang ajar sekali dia. Main salip begitu.

Al mengabaikan apa yang akan dilakukan Clara. Dia hanya duduk diam sembari menatap lampu merah. Tidak ada perasaan bahagia sama sekali dalam benaknya kembali ke Indonesia. Sebenarnya, Al benci pulang ke tanah air. Ia membenci segala kenangan pahit masa lalunya di sini. Jika saja bukan karena paksaan, mungkin Al masih di Amerika sekarang. Dia akan menghabiskan waktu di sana untuk melupakan segala masalah dalam benaknya.

Clara menghampiri pengendara sepeda motor tersebut. “Hei, kau!”

Pengendara sepeda motor itu menoleh. Lalu membuka kaca helm-nya. "Eh."

Hm ...  perempuan rupanya. Clara menatap tajam gadis pengendara sepeda motor itu.

“Ada apa?” Bertanya dengan heran. Tanpa rasa bersalah, atau tanpa menyadari kesalahannya.

Apa dia tidak mengerti kesalahannya barusan? Menyebalkan sekali! Clara menyilangkan kedua tangannya di dada. “Barusan kau menyalipku seenaknya dan membuatku hampir menabrakmu. Apa kau tidak bisa berkendara dengan baik? Atau kau sengaja, supaya aku bertanggung jawab karena menabrakmu?!”

“Oh ...," gumam gadis itu. Aku tidak senaif itu kali. Berpura-pura tertabrak agar kau bertanggung jawab. Seperti di film-film saja.

Apa?! Jawabannya hanya oh. Ya, Tuhan. Gadis ini menyebalkan sekali!

“Hanya hampir, kan? Artinya, belum terjadi apa-apa.” Dengan mudah gadis itu menjawab.

“Hei, bukannya meminta maaf atau menyadari kesalahanmu, kau malah sesombong itu?” Clara semakin kesal.

Gadis itu tersenyum. “Bukannya sombong, sih. Hanya saja, aku tidak suka meminta maaf, untuk sesuatu yang bukan kesalahanku.”

Al memperhatikan Clara sesaat. Entah apa yang terjadi di sana, karena Al tidak bisa mendengar jelas percakapan mereka. Lagi pula, Al memang tidak tertarik untuk mengetahuinya. Namun, ada satu yang menarik perhatiannya. Clara tampak begitu kesal. Ternyata gadis perfeksionis itu bisa marah juga, ya. Mereka sedang berdebat, ya. Bukankah tidak terjadi kecelakaan tadi. Untuk apa berdebat dengan pengendara sepeda motor itu. Buang-buang waktu saja, gumam Al dalam hati.

Clara tampak masih berdebat dengan gadis pengendara sepeda motor itu. Wajahnya tampak semakin kesal, sedangkan gadis pengendara itu justru menimpalinya dengan begitu santai.

“Nona, lima detik lagi, lampu akan berubah hijau. Apa kau masih tertarik untuk berdebat denganku?”

Clara melirik lampu lalu lintas sesaat, kemudian menatap gadis pengendara itu dengan sebal, dan bergegas masuk ke mobil.

“Hati-hati, Nona! Bila kau menyetir dengan marah seperti itu, aku khawatir akan terjadi sesuatu padamu!” seru gadis itu setengah meledek.

“Diam kau!!” Clara menutup pintu mobilnya keras.

Al mengangkat satu sudut bibirnya. Gadis pengendara sepeda motor itu keren juga, bisa membuat Clara sekesal itu.

Clara mengatur napasnya kembali. Saat ini ia harus menahan emosinya. Al ada dengannya. Ia tidak boleh terlihat sebagai gadis pemarah. Awas saja kalau sampai kita bertemu lagi! Akan kuremas-remas bibirnya yang pandai bicara itu!

Lampu hijau sudah menyala. Kendaraan mulai bergerak satu per satu. Begitupun dengan mobil Clara.

***

Sesampainya di kediaman Wijaya.

Al dan Clara turun dari mobil.
Mobil Attha sudah berada terlebih dahulu di halaman istana Wijaya yang seluas lapangan. Mobil-mobil berjejer rapi di garasi. Sedangkan di teras rumah megah itu sudah ada banyak orang yang menyambut kepulangan Al. Wijaya, Yasmin, Attha, Marsya, bahkan para asisten rumah tangga di istana Wijaya pun turut menyambut kedatangan Al.

“Selamat datang kembali ke tanah air, Tuan Muda Alvendra,” sambut Pak Nur—kepala asisten rumah tangga di istana Wijaya.

Para asisten rumah tangga itu pun turut menunduk, memberi penghormatan.

“Apa kabar Pak Nur?” tanya Alvendra.

Ck, bahkan dia lebih tertarik menanyai kabar Pak Nur daripada aku. Clara membatin dengan kesal.

“Saya baik. Apa kabar Anda?” Pak Nur balik bertanya.

“Seperti biasa. Tidak ada yang berubah, Pak Nur, ha-ha.” Berkata sembari melirik ayahnya, kemudian beranjak masuk ke istana nan megah itu.

Apa maksudnya 'tidak ada yang berubah?' Mungkin, suasana rumah atau suasana hatinya. Hanya Al, Author, dan Tuhan yang tahu. Ha-ha.

“Semoga hari-hari Anda menjadi lebih baik.” Pak Nur menundukkan kepalanya kembali saat Al berjalan melewatinya.

“Clara, Sayang. Mari masuk dulu, Nak. Kita akan makan siang bersama.” Yasmin menyentuh lembut lengan calon menantunya itu.

“Lain kali, saja, ya? Lagi pula, Al pasti akan beristirahat terlebih dahulu. Dia tentu sangat lelah di perjalanan.” Clara menjawab seraya tersenyum.

“Clara, apa Al bersikap baik padamu?” tanya Yasmin.

Bersikap baik apanya. Dia itu, kan, Es Kutub Utara.

“Ha-ha, tentu saja, Tante. Kita banyak mengobrol tadi di mobil.” Clara menjawab sembari tertawa. Tawa yang menyedihkan.

Attha sepertinya tahu kalau Clara berbohong. Ia menatap Clara dengan pandangan iba. Entah sampai kapan adiknya memperlakukan Clara sedingin itu.

“Oh, syukurlah. Kamu pasti bisa mendapatkan ruang di hati putraku. Kamu adalah gadis yang cantik, baik, dan juga pintar. Banyak lelaki yang menginginkanmu. Al juga ... pasti tidak lama lagi, dia akan jatuh cinta padamu, Sayang.”

Clara tersenyum. “Terima kasih atas pujian dan restumu, Tante.”

Clara pun pamit pulang. Kemudian Attha membawa ayahnya yang duduk di kursi roda itu masuk. Marsya pun turut masuk bersama mereka.

Bersambung ....

Love On The Run (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang