Seminggu terlewati setelah kejadian pada malam itu, Daniel Alvaro tidak bisa tidur dengan tenang. Berkali-kali ia terbangun pada tengah malam oleh mimpi yang sama. Wajah ayu dengan bulu mata lentik milik perempuan itu terus menyambangi alam mimpinya.
Berdua saling berpagut mesra di atas hamparan air tenang nan luas tak bertepi. Di bawah birunya langit cerah dan arakan mega-mega yang saling berkejaran. Nirvana abadi yang selalu manusia dambakan di tengah kemelut kehidupan.
Efek minuman alkohol yang semalam dia tenggak habis masih bisa ia rasakan dan membuat pandangannya berkunang. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya, setelah memastikan semuanya itu hanyalah mimpi.
Walaupun enggan, tetapi dia harus segera berangkat ke tempat pemotongan besi bangkai pesawat. Pekerjaan sampingan mengais sisa-sisa perang besar untuk sekedar menyambung hidup. Situs pemotongan bangkai pesawat itu tidak begitu jauh dari Neo Jakarta.
Terik matahari dan lahan tandus penuh partikel debu kosmik di luar tembok, tentu bukan pekerjaan yang didambakan setiap orang. Tetapi, menjadi pemulung relik-relik Era Kiamat Kecil, jauh lebih baik dari pada harus menjadi budak belian para mahluk asing dari luar bumi.
Hanya berjarak dua puluh kilometer di luar [Aegis Wall]. Salah satu warisan dari Era Kiamat Kecil. Berdiri kokoh menjulang setinggi 50 meter mengelilingi seluruh wilayah kota. Pertahanan terakhir negeri makmur yang dulu dijuluki Macan Asia dalam menghadapi gempuran mahluk asing dari luar galaksi bima sakti.
"Woy Daniel! Cepat sedikit! Kau terlambat!" bentak pengawas situs ketika Daniel baru saja turun dari bis.
Para pekerja yang sudah datang terlebih dulu hanya menahan tawa ketika melihat Daniel terkena semprotan ludah pria paruh baya bertubuh tambun itu.
"Masih pagi sudah berisik kau pak Kumis," jawab Daniel santai.
"Enteng kali kau cakap hah! Sudah cepat sana! Potong semua lempengan adamantium di sektor A!"
Daniel mendongak kepalanya ke atas, memicingkan mata ke arah puncak moncong bangkai pesawat setinggi belasan meter itu.
The Grand Zeppelin, pesawat ulang alik yang awalnya dirancang untuk pariwisata luar angkasa, harus menerima nasibnya untuk berubah menjadi pesawat pusat komando dan gugur di medan perang bersama para pahlawan.
"Pak Kumis! Tambahkan bayaranku untuk hari ini! Akan aku selesaikan sebelum gelap!" ucap Daniel sembari mengenakan helm pengaman dan masker gas.
Hal serupa juga dirasakan oleh Nadya Mirreska, pagi miliknya tidak berjalan seperti biasanya. Mulai dari terlambat bangun, rambut yang masih berantakan ketika jam menunjukan angka sepuluh tepat. Bahkan dia lupa soal ponsel pintar yang masih tergeletak di kasurnya ketika ia sudah dalam perjalanan.
Para penata rias yang telah lama menunggu, langsung sumringah ketika melihat Nadya melangkah masuk ke studio. Tangan mereka begitu cekatan mendandani Nadya. Busana mini dress kebiruan yang memperlihatkan elok garis tubuhnya.
Nadya terlihat begitu sempurna di mata lensa. Berlenggak-lenggok dengan beragam pose. Fotografer juga tak mau kalah, setiap jepretan kameranya sukses menangkap setiap keindahan tubuh Nadya.
Menjadi Super Model dengan nilai kontrak ratusan juta Units membuat hidupnya terus diburu oleh waktu, akan tetapi ... dia begitu menikmati pekerjaannya. Namun, menjadi tokoh masyarakat dan bisa mendapatkan segala yang ia mau, belum bisa mengisi kekosongan dalam hatinya.
"Ya! Selesai! Wah ... hari ini kau menjiwai sesi pemotretan ini, aku bisa melihatnya dari matamu."
Fotografer itu, kendati semua teman sejawatnya sudah pensiun karena semua tugas juru foto bisa digantikan oleh kecerdasan buatan, ia masih tetap setia dengan cara lama. Baginya, ada satu aspek yang tak bisa ditiru oleh A.I, yaitu soal rasa.
Nadya meregangkan punggungnya sembari melihat hasil foto. Bahkan ia bisa melihat perbedaannya, sorot matanya begitu hidup, tidak seperti hasil foto sebelum-sebelumnya yang terkesan kaku dan tak berjiwa walaupun indah tubuhnya begitu sempurna.
"Aku sudah mendengar soal dirimu yang tersesat di pemukiman kelas bawah dan diselamatkan oleh satu berandalan. Hmm ... Apakah kalian berdua memiliki hubungan?" tanya fotografer itu.
"Oh, ayolah Bu Siska ... Kami bahkan hanya bertukar kata selama beberapa menit saja," kilah Nadya.
"Nadya, sebagai seorang wanita. Aku tahu betul kapan seseorang jatuh cinta."
Nadya hanya tersipu malu mendengar ucapan wanita di hadapannya, mata Bu Siska bukan hanya bisa menangkap keindahan suatu objek. Namun juga keindahan jiwa yang dijatuhi cinta hanya dari tatapan mata.
"Kau selalu bekerja keras satu tahun ini. Bagaimana kalau berlibur?" ujar seorang wanita penata rias yang membantu Nadya membersihkan riasannya.
"Work is the best antidote for sorrow," gumam Nadya.
Bu Siska mengerti betul perangai Nadya ketika sedang uring-uringan dari rona wajahnya. Walau Nadya terlihat begitu dewasa, cerdas dan berwawasan luas.
Tetapi, Nadya masihlah seorang perempuan berusia 21 tahun. Ikatan keluarga yang tak begitu harmonis, membuat Nadya hanya percaya pada kerja keras dirinya sendiri.
Namun, selama ia bekerja dengan Nadya satu tahun belakangan, sebagai teman dan juga sebagai rekan kerja ia belum pernah melihatnya dekat dengan seorang lelaki. Kerja, kerja dan kerja. Hanya itu yang menjadi fokus Nadya.
"Ya sudah ... Kamu pergi berlibur sambil melakukan Tur Dunia, tertarik?"
Nadya terperanjak mendengar ide Bu Siska.
"Maksud Bu Riska?"
"Belakangan ini ... masyarakat sedang menuntut Pemerintah Dunia untuk merekonstruksi tempat-tempat bersejarah di Bumi, aku rasa dengan tur keliling dunia akan menaikan popularitasmu."
"Peduli setan dengan popularitas! Lalu, kenapa juga aku harus repot keliling dunia?"
"Ada satu hal yang tak bisa kita dapatkan ketika hanya berdiam diri menjelajahi dunia fantasi dengan Excitesphere di kepalamu, sebuah ikatan batin yang menjiwa."
"Ikatan batin yang menjiwa?"
"Pergi saja, maka kau akan tau sendiri."
Nadya termenung beberapa saat, selama ini ia hanya tahu Nama Jiwa miliknya. Tetapi, belum pernah sekalipun ia merasakan dan melihat Nama Jiwa miliknya. Perkataan Bu Riska yang bijaksana dan penuh makna, selalu berhasil menenangkan pikiran dan perasaan Nadya.
"Baik, akan aku lakukan," ucap Nadya penuh keyakinan.
"Bagus, tak perlu kuatir soal akomodasi, pihak manajemen yang akan mengatur semuanya."
Semua jadwal sesi pengambilan gambar ia selesaikan hari itu juga. Ia menengok ke arah jam hologram di dinding menunjuk ke angka 18.45.
Seperti biasanya, Nadya termasuk orang yang paling disiplin kalau soal jadwal. Sebisa mungkin ia tidak telat lebih dari lima menit. Bahkan untuk urusan makan.
Ia mencari restaurant terdekat dari studio lewat ponsel pintarnya dan memesan tempat di menit terakhir sebelum makan malam.
"Pukul 19.30," gumamnya sambil memasukan angka jam kedatangan.
"Bu Siska! Aku pergi makan malam dulu!" seru Nadya seraya melambaikan tangan.
![](https://img.wattpad.com/cover/232303488-288-k658674.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
NadDa
Romance"Setiap raga memiliki jiwa, dan setiap jiwa memiliki nama luhur masing-masing." -Penulis. Nadya Mirreska, seorang perempuan muda dengan sifat dingin dan bagai tak tersentuh oleh bara api asmara sedikitpun. Super Model kenamaan kelas dunia dengan se...