Lima Jejak Darah

20 4 2
                                    

Daniel berhasil mengalahkan komplotan Rouge Rifter yang mengejarnya. Tetapi, dengan perut yang tertembak oleh peluru adamantium berlapis perak, kemampuan regenerasi Daniel tak bisa ia gunakan.

Suara letupan senapan yang menggema di seluruh pemukiman itu sontak menarik perhatian Drone Patrol. Robot pengawas dan yang kebetulan terbang melintas di atas Daniel.

Robot itu langsung menukik kebawah dengan empat pendorong plasmanya. Berbentuk seperti laba-laba dengan kaki-kaki berpendorong jet plasma.

"Diam di tempat!" titah robot itu dengan suara sintetik yang mengintimidasi.

Lampu robot itu berubah menjadi merah menyala ketika selesai memindai identitas Daniel. Robot itu lekas mengeluarkan senapan kejut bertegangan listrik tinggi dari punggungnya.

Daniel yang sudah kehilangan tenaga memutuskan untuk segera kabur dari tempat itu sambil menahan luka tembakan.

Daniel berlari dari satu persimpangan ke persimpangan lainnya untuk mengecoh robot itu. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah lubang gorong-gorong yang terbuka.

Ia pun masuk dan menyusuri gorong-gorong tempat para hewan melata itu. Bau darah Daniel menarik perhatian ular dan kadal termutasi berukuran tak lazim. Lusinan pasang mata berpendar merah dalam kegelapan, dengan perlahan mereka mendekati Daniel dari belakang.

Daniel merasakan aura membunuh dari para hewan itu. Ia pun terpaksa naik ke permukaan dari pada menjadi santapan hewan termutasi berwarna putih pucat itu.

Berjalan sedikit menunduk, Daniel berhati-hati berjalan dalam kegelapan. Beberapa saat kemudian, suara bising robot patroli itu berdengung keras dari kejauhan.

Daniel bergegas mempercepat langkahnya, akhirnya dia sampai di depan sebuah gudang terbengkalai. Ia pun segera menghilangkan hawa keberadaannya dan menyatu dengan kegelapan.

Alhasil, darah terus mengalir keluar. Dengan sisa napasnya, Daniel berjalan terhuyung-huyung menuju sebuah gedung kosong. Bersandar ke dinding untuk tetap sadar.

"Argh!" Daniel mengerang menahan rasa sakit dan panas seperti membakar tubuhnya dari dalam.

Napasnya mulai lemah, ia duduk bersandar di dinding. Menyalakan sebatang rokok dan dia hisap dalam-dalam. Tidak mengurangi rasa sakitnya, tetapi cukup untuk menenangkan pikiran.

Ia coba sirkulasikan darahnyadi sekitar pembuluh yang pecah agar tidak begitu banyak darah yang mengalir.

Sekali lagi, dia menghisap rokoknya dan mengepulkannya ke atas. Pandangannya mulai kabur ketika menatap langit di antara celah-celah atap bobrok gudang terbengkalai itu.

"Sepertinya aku harus minta maaf untuk keterlambatanku besok pagi," gumam Daniel ketika ia tak sanggup lagi menahan tubuhnya.

Wajahnya menjadi pucat karena kehilangan banyak darah. Matanya semakin berat kesadarannya mulai memudar.

Di saat dia hampir kehilangan kesadaran sepenuhnya, sebuah panggilan masuk ke ponsel pintarnya.

Tak ada nama yang tertera di layar. Dengan jari yang berlumuran darah ia mengangkat panggilan.

"Daniel?" panggil suara wanita di ponselnya.

Daniel sangat terkejut ketika mendengar suara yang sudah sangat akrab baginya walaupun hanya baru mendengarnya sebanyak dua kali.

"Nadya, kau kah itu?" jawab Daniel.

"Iya ini aku, bagaimana dengan persiapanmu? Besok pagi kita akan berangkat dengan pesawat dari bandara Soekarno."

"Ah, kalau soal itu aku minta maaf. Mungkin aku akan sedikit terlambat."

Nadya merasa janggal mendengar suara Daniel yang semakin melemah, firasat buruk langsung terbersit dalam benaknya.

NadDaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang