Bias sinar mentari pagi perlahan menembus jendela kamar rawat.Kilapan cahaya keemasan melesak ke celah mata pemuda berkulit pucat itu.
Daniel membuka mata pelan dan meraba bagian perutnya yang tertembak. Rasa perih akibat luka tembakan di perutnya sudah jauh berkurang.
Ia perlahan menggerakan tangannya dan merasakan suatu benda kecil terbenam di urat nadinya. Seutas selang kecil transparan dengan cairan merah kehitaman perlahan mengalir di selang itu.
"Oh? Sudah sadar rupanya? Kau tertidur pulas sekali semalam." ucap suara perempuan sambil menuangkan air ke dalam gelas.
"Nad .... " selidik Daniel.
Daniel mencoba berbicara, akan tetapi suaranya tak bisa keluar karena tenggorokan yang kering.
Nadya menghampiri Daniel dengan perlahan dan membantunya untuk duduk dan memberi gelas itu.
Dalam sekejap Daniel meminum air di gelasnya sampai tandas.
"Kau masih di sini?" tanya Daniel.
"Aku tak bisa pergi begitu saja, iya 'kan?" balas Nadya seraya duduk di kursi samping ranjang.
"Lalu bagaimana dengan rencana Tur Dunia?"
"Kita bisa bicarakan itu nanti, kini kondisimu adalah yang terpenting."
Nadya meraih tangan Daniel, menautkan jemarinya di sela-sela jemari Daniel. Banyak yang ingin dia tanyakan pada lelaki yang berhasil merenggut hatinya itu. Akan tetapi, ia juga menyadari setiap orang memiliki masa lalunya masing-masing.
Daniel menangkap guratan kekhawatiran di mata Nadya, "Nadya, aku baik-baik saja, percayalah."
"Aku tidak tahu ada apa dengan dirimu semalam, tapi aku ingin kamu janji. Jangan ulangi hal bodoh lagi!" titah Nadya seraya mengerutkan dahinya.
Daniel terkekeh mendengarnya, ia balas genggaman tangan Nadya dan meresapi kehangatannya. Lama sudah Daniel tak merasakan lembutnya sentuhan seorang wanita.
Rona wajah Nadya sedikit memerah ketika Daniel mengeratkan jemarinya. Degup jantung di dada sayup ia dengar kala Daniel menatap matanya, ia pun seperti merasakan darahnya berdesir di setiap selubung nadi.
Melihat hal itu justru membuat salah tingkah, karena dia tak pernah melihat seorang wanita tersipu malu di depannya.
"Muka kamu merah, kamu tidak apa-apa? Apa kamu demam karena begadang semalaman?" selidik Daniel seraya mengusap pipi Nadya.
Wajah Nadya langsung merona kemerahan hingga ke telinga saat telapak tangan Daniel yang lebar menangkup pipinya.
"Aku baik-baik saja, dan sepertinya kamu juga sudah sehat, kalau begitu besok kita akan berangkat," sahut Nadya.
Daniel langsung menyadari perbuatannya yang mungkin akan membuat Nadya canggung. Ia pun melepas genggaman tangannya.
"Oh iya, aku belum sempat tanya soal tujuan kita," lanjut Daniel.
"Mungkin ke Utara? Atau mungkin ... Timur Tengah, Eropa Timur, German Barat, Amerika, Asia Timur Raya? Aku tidak peduli akan kemana, biar jiwa ini saja yang menentukan."
Daniel sedikit kebingungan mendengar jawaban Nadya sambil menggaruk dagunya. Akan tetapi, jawaban itu terdengar seperti permintaan seorang kekasih plin-plan di telinga Daniel.
"Kalau begitu ... kita kunjungi Amerika terlebih dahulu."
"Kenapa harus Amerika?" tanya Nadya.
"Karena di sanalah tempat kelahiranku."

KAMU SEDANG MEMBACA
NadDa
Romance"Setiap raga memiliki jiwa, dan setiap jiwa memiliki nama luhur masing-masing." -Penulis. Nadya Mirreska, seorang perempuan muda dengan sifat dingin dan bagai tak tersentuh oleh bara api asmara sedikitpun. Super Model kenamaan kelas dunia dengan se...