The Passion To Love^ Three

4.3K 146 12
                                    

Siraman air berasal dari keran dapur membasahi wajahnya ketika dia membuka pintu kamar. Tidak berusaha melawan karena semua tenaga seakan sudah habis tak bersisa.

"Elo ngapain di dalam, huh?! Gue! Ibu! Sama Ayah mau sarapan pagi! Napa lo nggak masak?!"

Meringis kesakitan saat tangan itu memegang kuat dagunya.

"Apaan nih?! Bibir bengkak sama luka lo abis ciuman brutal?! Bisa sialan gue punya saudara angkat kayak lo! Cuih!"

Saudaranya menjauh dan sekarang digantikan oleh wanita lain seharusnya dapat dengan bahagia dia panggil 'Ibu'.

"Kenapa nggak ada masakan di meja makan? Kamu bangun kesiangan?!"

"Maaf ... aku, lagi nggak enak badan Bu ..."

PLAK!

Seperti biasa satu tamparan keras mengenai pipi kirinya.

"Kita makan di luar aja Bu, lagi pula aku udah bosan dengan masakan dia. Kita punya banyak uang aku mau makan di resto mewah dengan menu paling enak pagi ini, Ayah pasti setuju."

"Oke, Sayang. Ibu akan mengunci semua menu makanan di dapur ini agar dia nggak bisa makan. Kamu kunci lemari pendingin juga lemari rak dapur kuncinya berikan ke Ibu nanti. Ibu harus siap-siap dulu karena setelah selesai makan sekitar jam sepuluh pagi, Ibu sama Ayah ada rapat antar klien."

"Aku juga ada jam kuliah tapi nanti setelah jam istirahat siang. Oke, Ibu perintahmu siap dilaksanakan!" Tertawa senang sebelum kembali menatap wajah di sampingnya, "Dasar nggak guna lo. Napa belum mati juga sih? Lo kapan coba matinya? Jadi kami nggak perlu susah payah ngusir lo dari nih rumah." Ucapnya lalu mendorong kasar tubuh itu sampai menabrak pintu sebelum dia dan Ibunya berlalu keluar dari dapur.

Davyta berusaha tidak kembali menangis tapi air matanya keluar banyak bersama rasa sedih dirasakan. Tubuhnya kedinginan sekarang tapi dia tidak berhenti untuk mandi sejak tadi ketika tiba di rumah pukul empat dini hari. Karena sekarang dia sangat membenci dirinya yang telah begitu kotor dia menangis sebelum kembali memasuki kamar mandi. Dan tanpa melepaskan pakaian mulai membasahi tubuhnya lagi dengan banyak air lalu tersungkur jatuh.

Sekarang satu-satunya harta berharga ada di dirinya telah dirampas begitu saja. Begitu rendahan dan tidak ada artinya lagi bahkan untuk bernapas saja terasa sakit karena menahan semua luka tersebut.

* * * * *

"Selamat pagi Pak Arris,"

"Pagi Pak Arris!"

"Pagi Pak,"

Seseorang dipanggil Arris sejenak membetulkan letak kacamatanya, sebelum tersenyum ramah kepada beberapa pegawai wanita di kantor.

"Pagi juga Vita, Jena dan ... Rina."

Setelah membalas sapaan mereka dia kembali melanjutkan langkah kaki menuju lift untuk ke lantai lima. Setelah berada di dalam sesekali mengecek lagi selembar kertas dalam map biru dibawa saat ini. Berusaha meredakan kekesalan karena sudah muncul sejak malam tadi.

Tiba di lantai lima dia menghentikan langkah kaki di depan meja kerjanya. Siapa tahu ada berkas baru datang tapi meja masih dalam keadaan rapi persis sama saat dia berlalu keluar tadi. Kembali melanjutkan langkah kaki menuju sebuah pintu tertutup rapat tanpa bersusah payah mengetuknya terlebih dahulu, dia justru membuka pintu di hadapan dengan sangat sengaja kasar hingga menimbulkan bantingan keras lalu bergegas masuk dan kembali menutup pintunya secara kasar.

Bukannya merasa terganggu atas kehadirannya yang ribut ini sosok bosnya itu justru duduk tenang, tapi dalam keadaan melamun di depan layar komputer.

"Selamat pagi, eh, siang Pak Reigran Drew Alexfanders!" Arris memasang senyum sangat lebar, justru menandakan kebalikan dari sebuah kekesalan sedang terjadi sekarang.

Sorot mata itu menatapnya dan Arris mengambil tempat duduk di hadapan bosnya, tentu sambil meletakkan map dia bawa ke atas meja.

"Dari mana lo?"

Arris langsung tertawa sebelum menatap bosnya kesal, "Harusnya gue yang tanya lo dari mana sejak malam tadi? Lo dihubungi nggak di angkat-angkat. Lo tuh suka buat gue pusing tujuh keliling ngurusin banyak hal belum lagi sikap lo suka tiba-tiba!"

"Itu udah jadi tugas lo sebagai sekretaris gue."

"Tapi nggak gini juga kali nih liat! Karna lo nggak hadir di rapat terakhir peluncuran produk perusahaan, sementara gue sibuk ngumpulin banyak konsumen dalam rangka promosi bulan depan, Pak Eric jadi minta pegawai lo yang lain datang hadirin tuh rapat. Dan lo liat apa hasilnya, huh? Pegawai lo tuh nggak bisa kasih masukkan! Apalagi catat poin penting dengan alasan terlalu gugup karna hal ini perusahaan kita jadi rugi!"

"Itu hanya hal kecil, nggak bakal dampak apa-apa sama perusahaan besar kayak gini."

Arris membuka mulut lebar menutupnya cepat lalu kembali membuka lebar mulutnya. Dia sekarang sangat kesal rasanya ingin memukul wajah bos menyebalkannya itu, "Gue yang bakal tanggung jawab kalo sampe rapat terakhir nanti nggak ada hasil gila ya lo! Gue tau nih perusahaan besar lo bahkan udah dapetin sejak kecil tanpa bersusah payah karna lo generasi penerusnya. Tapi apa lo nggak mikir napa Pak Eric ajukan pensiun cepat di saat dia masih mampu jalanin nih perusahaan? Itu karna dia percaya sama anak satu-satunya dia miliki yaitu lo! Coba serius sekali aja dan berhenti buat gue pusing terus-menerus karna lo, astaga!"

Arris mengambil napas sebanyak mungkin sebelum kembali melanjutkan, "The Alexfanders adalah perusahaan besar! Megah! Mewah! Indah! Dengan karyawan sangat banyak! Perusahaan multinasional gerak dibidang produksi barang konsumen! Lo harusnya mulai serius sekarang karna udah banyak merk terkenal kita keluarin. Saking besarnya nih perusahaan udah punya anak cabang di tempatin dalam kota maupun luar kota astaga, bro! Kalo tau gini jadinya nyesal gue dulu terima tawaran lo gabung di perusahaan ini!" Teriak sekerasnya yang Arris bisa. Menatap bosnya itu dengan napas menggebu-gebu tidak peduli mereka sedang berada di mana saat ini, karena dia dan pria di hadapan sudah bersahabat semenjak masa SMA. Jadi dia bisa bebas marah untuk hal apa saja terhadap sahabatnya itu.

"Gue mau ke klub langganan."

"What?!" Arris berteriak kencang lagi, "Gue lagi serius ngomong! Tapi lo justru respon ke hal lain?!"

"Ada sesuatu harus gue urus di sana, terserah lo mau ikut atau nggak."

"Gue pukul ya lo sekarang!" Teriaknya sambil mengusap wajah karena mulai merasa hawa panas di sini, sementara pendingin ruangan tidak mempan untuknya sekarang dan hanya satu kali ini saja, Arris akan mencoba memahami sikap menyebalkan sahabatnya itu.

"Bukannya klub belum buka sekarang?!"

"Ya. Tapi seseorang bakal nyapa dengan senang hati saat tau, siapa yang datang ke sana."

*

The Passion To Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang