The Passion To Love^ Nine

2.5K 117 9
                                    

Sudah lama rasanya semenjak terakhir kali Davyta merasakan hangatnya matahari pagi. Tapi semangat hidup dia tanamkan sejak dulu sekarang menghilang begitu saja ketika kejadian mengerikan itu menimpa hidupnya. Rasa sakit dan hina menjadi satu kala dia diperlakukan sama dengan wanita bayaran lalu sekarang yang tersisa hanya tubuhnya tanpa ada lagi semangat berjuang untuk hidup. Dia telah menjadi rendahan seperti sampah kotor bahkan sekedar bercermin saja memandang diri sendiri rasanya jijik.

"Nak Avy?"

Suara lembut memanggil membuatnya menghapus cepat air mata, menoleh ke arah pintu sosok Ibu yang baik berjalan mendekat.

"Gimana rasanya duduk di depan jendela? Ditemani segelas teh hangat dan biskuit berbagai rasa? Apa kamu menikmati suasana pagi, Nak? Oh, apa ini? Kenapa ada air mata yang keluar dari wajah cantik ini?"

Ketika tangan itu menghapus lembut air matanya Davyta justru tak kuasa menahan tangis.

"Ibu sudah mengetahuinya dari Arris pagi ini, tepatnya sebelum dia berangkat kerja."

Tubuhnya dibawa ke dalam pelukan usapan lembut di kepala membuat Davyta sedikit merasa tenang.

"Semenjak kamu menginap di sini malam tadi Ibu sudah curiga telah terjadi sesuatu padamu. Arris berusaha menutupinya tapi Ibu tidak bodoh untuk tidak mengetahui apa yang Ibu lihat secara langsung, karena Ibu pernah mengalami hal seperti kamu Sayang, karena Ibu kehilangan anak perempuan Ibu satu-satunya yaitu Adik Arris. Di mana dia meninggal karena diperkosa oleh mereka tidak bertanggung jawab. Dan jika dia masih hidup sekarang dia akan berusia sama seperti kamu yaitu berumur sembilan belas tahun."

* * * * *

"Napa lo? Mau marah sama gue?"

"Apa lo harapin gue pasang raut muka kayak lo mau? Tuh pelacur bukan lagi urusan gue, karna gue udah bayar dia mahal, tapi dia munafik nggak bawa uang itu pergi."

Meletakkan dokumen yang dibaca Arris mulai tertawa, "Dia nggak munafik. Dia hanya coba pertahankan sekali lagi harga dirinya karna dia bukan pelacur. Sampe kapan pun itu di saat semua orang anggap dia pelacur termasuk lo, gue bakal anggap dia beda karna dia pantas di sayang, pantas dilindungi. Karna rasa sakit gue balik lagi saat gue dengar kisah pilu hidupnya." Segera beranjak dari kursi membetulkan sebentar letak dasinya sebelum Arris berjalan keluar dari ruang bosnya.

"Oh iya gue hampir lupa buat bilang, kalo sore ini gue anterin dia pulang ke rumahnya. Dia mau cepat pulang walau gue nggak yakin kejadian apa pun bisa muncul, takdir apa sedang Tuhan atur buat hidup lo sampe lo lampiaskan ke wanita bayaran, berakhir dengan kesalahan besar lo ambil kesuciannya. Lo hanya perlu berdoa, bro. Berdoa buat kematian cepat datengin dia maka lo bakal jadi pendosa besar nggak jauh beda, dari mereka yang berengsek karna udah bunuh Arra."

* * * * *

"Cantik sekali Ibu,"

"Cantiknya sama seperti kamu Nak,"

"Namanya siapa Bu?"

"Arra Vitriana. Ibu dan Arris kehilangannya saat dia berumur enam belas tahun. Ibu dan Arris begitu terluka kehilangannya hingga Ayahnya menjadi sakit dan setahun setelah kepergiannya, suami Ibu ikut menyusul Arra Nak ..."

Setetes air mata jatuh di wajah Davyta mendengar jalan cerita menyakitkan dari kedua orang yang begitu baik padanya.

"Satu bulan setelah kejadian itu Ibu menemukan Arra bunuh diri dalam kamarnya ... luka sayatan di pergelangan tangan membuat dia kehilangan banyak darah Ibu ...,"

Davyta menangis berusaha memberikan pelukan karena dirinya juga sama terluka.

"Arris begitu kehilangan Adiknya di saat dia berusaha untuk kuat dia juga harus kehilangan Ayahnya. Nak Avy ... sekarang kamu sudah tahu bukan alasan kenapa Ibu dan Arris tulus menolongmu? Karena kami pernah mengalaminya, karena kami pernah merasakan kehilangan menyakitkan, walau Ibu bukan siapa-siapa di matamu dan baru kamu kenal, tapi bolehkah Ibu berharap bahwa kamu tidak akan melukai dirimu sendiri Nak? Bahwa semua yang terjadi bukan akhir dari segalanya ... tidak peduli hinaan akan menghampiri tapi Ibu harap kamu kuat menjalani semua karena perjalanan hidupmu masih panjang."

"Ibu ...!" Tangisnya pecah memeluk erat wanita di hadapan Davyta semakin menangis pilu.

* * * * *

Obrolan hangat terasa dalam ruangan besar saat rapat berlangsung sejak satu jam lalu telah selesai. Sekarang mereka terlihat bicara santai melepas sejenak tekanan kerjaan semakin hari semakin besar.

"Gimana Pak Rei? Apa Bapak tertarik dengan ajakan saya bulan depan?"

Mengalihkan pandangan dari layar ponsel, Reigran sekarang fokus menatap pria yang duduk tidak jauh darinya.

"Maaf, sepertinya Anda masih tetap mendengar jawaban sama yaitu tidak."

"Ada alasan kenapa Pak Rei menolak ajakan Anda Pak Abi, semua karena Pak Rei sangat sulit membagi waktunya." Arris mulai ikut berbicara tidak lupa memasang senyum ramah.

"Wah ... sayang sekali liburan para pegawai, tapi pemilik perusahaan ini tidak bisa ikut." Ucapnya dengan senyum dipaksakan, lalu melihat bos mereka segera berlalu keluar tanpa mau bersusah payah melihat ke arahnya.

"Aura dinginnya itu loh, nggak bisa dihilangkan." Salah satu dari mereka menarik kursi mendekat.

Arris yang mendengar hanya tersenyum tidak enak hati, sambil tangannya membereskan cepat beberapa map dan alat menulis.

"Dibalik otaknya yang jenius tetap aja sikapnya sedingin es. Belum lagi saya dengar katanya Pak Rei membatalkan pertunangannya begitu saja."

"Dia nggak hanya dingin dengan para pegawainya tetapi dengan kekasihnya dia bersikap sama. Wajar julukan senyuman mahal ditunjukkan padanya."

"Biarpun begitu," Kembali salah satu dari pegawai wanita mendekat pada kerumunan para lelaki, "Dia tetap menjadi idola di perusahaan ini. Bukan hanya dilingkungan ini saja melainkan di luar apalagi jika udah bertemu antar klien, jangan ditanya lagi betapa banyak yang jatuh dalam pesonanya."

"Saya izin keluar dulu Bapak-bapak dan Ibu-ibu, karena Pak Rei sudah menunggu di depan lift."

"Oh iya Pak Arris sampaikan rasa terima kasih kepada Pak Rei, karena bisa membagi waktu mengikuti rapat mendadak ini."

"Sama-sama." Memasang senyum sebelum beranjak keluar dari ruangan tersebut. Dia sedikit kesulitan membawa banyak berkas di tangan tadinya ingin di ruangan itu meminta bantuan pada pekerja lain membantunya membawa banyak berkas. Tapi melihat mereka sibuk bergosip ada baiknya dia keluar dengan cepat.

"Nggak pria nggak juga wanita sama aja, gosip jadi nomor satu di sini."

*

The Passion To Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang