Maret, 2021.
. . . . .
Dinginnya angin malam seakan menemani setiap langkah kakinya. Semakin erat memeluk diri sendiri ketika angin kembali menerpa dan benar membuatnya menggigil. Dia sudah terbiasa seperti ini setidaknya semenjak mengambil kerja yang pulangnya selalu larut malam setiap hari.
Tidak ada kendaraan apa pun bahkan untuk sebuah sepeda saja dia tidak punya. Dapat memenuhi hidup untuk mencukupi dirinya sendiri sudah merasa sangat bersyukur. Melihat jam di pergelangan tangan pukul dua dini hari sebelum mempercepat langkah kaki menuju rumah.
Tiba di depan pagar tinggi dia mengeluarkan kunci untuk dapat membuka pagarnya sebelum bergegas masuk. Pemandangan sudah biasa dia lihat setiap hari dalam rumah sebesar ini dengan para penghuninya sudah terlelap tidur.
"Abis tidur sama Om-om mana lagi lo?"
Sebuah suara menyapa ketika dia akan menuju kamar terletak di dapur. Mencari asal suara melihat saudara perempuannya sedang duduk manis di sofa ruang keluarga. Menatapnya dengan pandangan menghina sekali lagi dia sudah terbiasa mendapatkan perlakuan seperti itu.
"Lembur Kak ramai pengunjung,"
"Ramai pengunjung iya gue tau maksudnya, ramai lo layani malam ini. Berapa yang lo ajak buat tidur? Dua atau tiga Om-om sekaligus?"
Tidak menjawab perkataan tersebut dia melangkah memasuki kamar melepas tas kecil dibawa, sejenak menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur kecilnya bersama dengan air matanya mengalir keluar.
* * * * *
"Pulang jam berapa kamu malam tadi? Setiap hari kerja pulangnya larut malam, Ibu malu sama para tetangga punya anak modelnya seperti kamu."
Meletakkan semangkuk sup ayam barusan dia buat dan melanjutkan lagi kegiatan membawa lauk-lauk yang berada di dapur.
"Davyta! Ibu sedang bicara denganmu, dasar bodoh!"
"Ya ampun Ibu, seperti nggak tahu dia aja dia 'kan bisu Bu, bukan hanya bodoh aja Ayah bahkan sampai muak hadapinya benar Ayah?"
"Oh, putriku! Kamu terbaik Sayang!"
Mendengar semua percakapan tersebut seharusnya dia sudah terbiasa mendapatkan perlakuan itu sejak kecil. Tapi kedua orang tua serta Kakaknya begitu tega menghinanya tiada henti setiap hari. Menghapus cepat air mata kembali membawa tempat berisikan buah-buahan setelah itu bergegas masuk ke dalam kamar untuk meraih tas.
"Percuma Ibu bicara padanya nggak akan dijawab."
"Dasar anak angkat nggak tahu diri! Nggak berguna! Menghilang aja kau dari hidup kami!"
Menutup pintu ruang tamu setengah berlari menuju pagar, dia sudah terlambat 15 menit untuk sampai di tempat kerja yang lain.
* * * * *
"Gue kalo jadi lo bakal gue abisin tuh mereka! Gue nggak peduli Avy! Mereka emang orang tua angkat dan saudara angkat yang sejak kecil lo udah sama mereka, tapi yang gue liat dari nih semua mereka angkat lo anak hanya buat jadi babu mereka! Dasar nggak punya hati mereka nggak punya otak. Gue kasih saran mending lo kabur aja dari rumah itu buat sementara waktu lo bisa tinggal sama gue di kost gimana? Ke depannya kita cari jalan keluar buat tempat tinggal lo?"
Menghentikan kegiatan menyabuni banyak pakaian sebelum tersenyum ke Lani, teman satu kerja di tempat laundry pakaian.
"Aku lagi berusaha menabung, agar bisa cari rumah suatu saat nanti."
"Gue salut sama lo, diumur sembilan belas tahun lo bisa setegar ini jalani hidup. Gue yang udah hampir nginjak usia dua puluh aja belum tentu bisa sekuat lo gila aja, lo dibesarin sama mereka pasti mikir keluar dari panti asuhan bakal buat hidup lo bahagia, tapi apa yang lo dapetin abis keluar dari sana? Kesengsaraan bahkan lo nggak dikasih izin lanjut sampe kuliah. Kalo nggak kerja lo nggak bakal dapat jatah makan sementara saudara angkat lo sih Felysa, beuh! Hidupnya penuh kasih sayang harta berlimp —" Menghentikan perkataannya karena melihat gadis di hadapannya menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Passion To Love [END]
RomanceThis work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia ( Undang - undang Hak Cipta Republik Indonesia No. 28 Tahun 2014 ) =================================== [ SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK BUKU ] "Tolong jangan lakukan itu Pak...