The Passion To Love^ Four

3.9K 151 8
                                    

"Dengan ...?"

"Saya Arris." Membalas sapaan pria di hadapan dengan senyum ramah, seorang pria dia kenal bernama Romi.

"Mau minum apa?"

"Apa? Minum — oh, tidak! Maksudnya saya tidak minum alkohol, jika ada air putih saya ingin air putih saja." Responnya lalu melihat ke pria menyebalkan duduk di sampingnya tak lain adalah sahabat tersayangnya. Saking dia sayang sampai dirinya mempunyai keinginan untuk memukul wajah itu berkali-kali.

Raut wajah datarnya selalu terlihat sementara tangan mulai sibuk memegang gelas berisikan minuman alkohol, meneguknya secara pelan bahkan sudah meminumnya sebanyak tiga gelas berukuran kecil.

"Adanya air jeruk tidak dengan air putih."

Menoleh kembali ke pria bartender itu, dia menyodorkan segelas minuman orange untuknya Arris mengangguk senyum.

"Terima kasih. Apa Anda tinggal di sini? Maksud saya klub masih lama buka tapi saya lihat ramai para pekerja sibuk bersih-bersih sejak tadi. Dan Anda seakan sudah berada di sini sebelum kami berdua datang?" Tanya Arris penasaran.

"Saya seharusnya datang setengah jam sebelum klub dibuka. Tapi saat pelanggan paling kaya meminta segera datang, tentu saja saya harus tiba sebelum dia datang." Jawab Romi sambil senyum ramah.

Seakan tahu ke mana arah mata pria itu melihat tentu saja kepada sahabatnya yang menyebalkan. Bayangkan saja jika Arris menuruti perkataan bosnya untuk ke klub pagi hari. Bagus dia mau menuruti dengan datang pada pukul dua belas siang walau klub masih lama buka. Arris bahkan baru ke sini dua kali terhitung dengan ini bedanya dulu dia berkunjung tidak sempat melihat situasi sekitar terlalu fokus membawa sahabatnya sedang mabuk berat untuk pergi.

"Jadi, apa yang bisa gue bantu?"

Arris kembali fokus ke Romi lalu juga menatap ingin tahu ke pria menyebalkan duduk di sampingnya.

"Elo dapat uang juga dari gue karna kasih gue pelacur terbaik di klub ini. Tapi apa lo udah cek lagi saat apa yang gue pesan datang tepat waktu malam tadi?"

Raut wajah Romi mulai kebingungan, "Bro, gue nggak mungkin berani bohongin lo kasih pelayanan kelas rendahan. Bianca Lanzahra, wanita itu udah punya banyak pengalaman buat bikin senang para tamu kelas vvip di sini. Dan lo dalam sejarah karna bayar sangat mahal buat hal itu."

Arris tersedak minumannya sendiri mengetahui Reigran menyewa seorang wanita bayaran. Dia menatap pria itu sekarang sedang tersenyum sinis.

"Bisa lo jelasin napa ada banyak darah, di atas tempat tidur gue sewa malam tadi?"

Suara batuk keluar dari tenggorokan Arris dan Romi melakukan hal spontan yang sama.

"Nggak mungkin ..." Gumam Romi menatap tak percaya dengan apa dia dengar.

Memainkan gelas bening yang sudah habis dia minum sebelum melempar gelas itu ke atas meja hingga pecah. Sontak saja membuat Arris maupun Romi bergegas menjauh dan keduanya menatap takut ke pria di hadapan mereka.

* * * * *

"Astaga, Dik Avy! Wajah kamu pucat sekali!"

Berusaha mencari pegangan saat dia baru selesai menyapu lantai.

"Kak Mira ... aku nggak apa-apa."

"Avy napa?" Seseorang lainnya bertanya dan mendekati mereka.

"Wajahnya pucat sekali, aku langsung panik Ica melihatnya."

Merasakan suhu di kening itu Ica ikut khawatir.

"Avy lo demam tinggi, gue samperin bos dulu minta lo izin pulang awal."

"Kak, aku baik-baik aja sungguh —"

"Nggak, lo nggak lagi baik-baik aja. Kalo lo masih tetap mau kerja lo bisa bayangin nih klub selesai jam berapa? Sementara paginya lo mesti lanjut kerja lagi. Gue nggak mau lo sampe kenapa-napa."

"Biar aku saja yang antar Dik Avy pulang, kamu minta izin ke bos."

Berusaha mencari tempat duduk Davyta melihat sekitar dia merasa tidak enak hati jika harus izin pulang awal sementara lainnya sibuk kerja. Tapi dia sungguh tidak kuat lagi untuk sekedar berdiri karena tubuhnya menggigil dan merasa kesakitan diseluruh tubuh bahkan kedinginan yang berlebihan sekarang.

"Avy ayo aku tuntun kamu jalan, kamu masih bisa kuat jalan? Atau perlu aku panggil pekerja lain biar ke sini gendong kamu?"

"Aku kuat Kak ... aku nggak apa-apa terima ka —" Perkataannya terhenti karena melihat beberapa orang menaiki tangga. Mereka menuju lantai dua tempat di mana dia sedang duduk sekarang.

Sesuatu menyakitkan terasa memukul cepat jantungnya dengan tak kasatmata. Mulai menyadari salah satu dari orang itu dia kenal tepatnya setelah kejadian mengerikan terjadi padanya malam tadi.

"Avy lo napa?!" Ica menyadari duluan raut wajah ketakutan dari pekerja paling muda di klub ini.

"Ca, ada sesuatu yang nggak beres lihatlah Avy sampai ketakutan seperti ini, hei Dik Avy kamu kenapa? Avy?!" Berusaha menepuk pelan kedua pipi itu, agar fokus mata kembali lagi kepada mereka berdua sampai tangisannya terdengar.

Ica berusaha menenangkan gadis di hadapannya dan saat dia akan memeluk tubuh itu, dengan cepat Davyta berlari menjauh dari mereka berdua.

"Avy mau ke mana?! Astaga, dia buat gue khawatir!" Teriak Ica dan ingin menyusul tapi secepat itu Romi tiba-tiba datang lalu menghadangnya.

"Bang! Kalo lo mau marahin gue napa asyik-asyikan di sini mending nan —" Menghentikan perkataan karena baru menyadari ada dua pria berdiri di dekat Romi.

"Elo sama gue malam tadi saat gue bilang ke Bianca, bakal ada seseorang bayar mahal dan dia setuju buat itu. Sekarang bisa lo jelasin napa dia nggak ada di klub ini tepat waktu?"

"Bukannya Bianca udah hubungi lo Bang? Dia batalin semua karna ada urusan mendadak di luar?"

Dengan takut Romi menatap Reigran, "Maaf bro, ini sepenuhya salah gue."

"Di mana dia?"

Sorot mata dingin itu bertanya dan menatap Ica.

"Ap, apa maksud Anda?"

"Gadis tadi saat bersama kamu oh, saya sejenak lupa dia tidak gadis lagi semenjak kejadian malam tadi."

Ica dan Mira menatap kaget atas apa barusan mereka dengar.

"Nggak mungkin ... Anda salah orang bukan teman kami yang Anda cari." Mira mencoba mengelak ketika pria itu melangkah maju, meraih pergelangan tangan kirinya secara kuat hingga dia meringis kesakitan.

"Jangan mencoba membodohi saya ketika Romi sudah menceritakan semuanya. Dua puluh pekerja wanita di klub ini termasuk kalian berdua, hanya teman kalian yang berlari barusan satu-satunya masih perawan, tadinya."

* * * * *

"Nggak ..." Terisak pedih serta rasa takut semakin menguasai. Berusaha menutup kedua telinga wajahnya semakin menunduk.

Berharap dengan sembunyi di salah satu toilet dan pintu yang dikunci dia akan aman di sini. Tapi kenapa tubuhnya semakin menggigil ketakutan? Seakan sangat tahu keberadaan pria itu di klub ini untuk mencarinya air mata kembali keluar banyak. Pandangan menatap nanar ke segala arah lalu mendengar langkah kaki berjalan mendekat membuat dia berusaha menahan suara tangisnya.

"Keluar dari dalam sekarang atau pilih pintu ini didobrak?"

"Ng, nggak ..." Davyta berkata lirih dan takut sehingga tidak lagi kuat berdiri dia tersungkur jatuh. Berusaha duduk menjauh saat bersamaan pintu di hadapan didobrak. Davyta berteriak dalam tangis lalu tubuhnya diangkat untuk dibawa berdiri.

"Nggak! Lepaskan aku! Kumohon jangan sakiti aku! Tolong!" Semua terasa sangat cepat ketika kegelapan tiba-tiba mulai ingin mengambil alih kesadarannya.

Terakhir dia dengar suara teriakan dari mereka menyaksikan sebelum tubuhnya terjatuh dan digendong. Semua ketakutan terjadi semenjak malam mengerikan itu sekarang kembali muncul bersama dia yang dibawa pergi. Tidak tahu apakah untuk kembali menyiksanya atau bahkan lebih dari itu.

*

The Passion To Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang