Part 5 : Perihal Mengikhlaskan

13 3 0
                                    

Sesampinya disebuah rumah  sederhana bertingkat dua , dengan balutan tembok berwarna abu-abu putih dan terdapat pagar besi bewarna silver. Rai Akhirny bisa bernafas lega setelah kurang lebih 25 menit menyebunyikan sesak dadanya akibat menahan rasa antara takut dan malu. Rai turun dari mobil hitam itu.  Kemudian mengucapkan maaf dan terimakasih.

Maaf karena sudah membuatnya malu dan tidak sopan, berterimakasih karena telah mengantarkannya pulang. Rai tidak berani untuk mengajak orang itu mampir kepersinggahannya sebab ia tengah sendiri. Sinta pasti masih bersama dengan Aryo di kedai kopi itu.

Rai memilih untuk meminta maaf kembali dan menjelaskan bahwa ia tidak bisa mengajaknya mampir masuk kedalam rumah untuk saat ini . Walau sebenarnya pria itu tidak perlu diberi maaf untuk itu, sebab ia juga tidak ada keinginan untuk singgah.

"Saya balik duluan.." ucapnya sambil mengangkat satu tangannya seperti mendadahi.

"Iya pak, terimakasih sekali lagi" balas Rai sembari membungkukan sedikit badannya dan tersenyum tipis.
Namun ucapannya tidak berbalas sebab laju mobil itu sudah lebih dulu membelah jalan.

***
5 menit ketika Rai sampai, Sinta dan Aryo pun menyusul kedatangannya.

"Loh, Rai baru pulang?" tanya Sinta

"Seperti yang lo liat" ucap Rai singkat yang masih berdiri didepan pintu

"Naik apa tadi?" Tanya aryo

"Dianter"

"Sama siapa" ucap Aryo dan Sinta bersamaan. Mereka melirik satu sama lain, kemudian beralih pandang kearah Rai. Suasana Hening sebentar
.
.
.
"Yeee.. mau tau aja lo bedua"

"Raaaaii.." Rai berusaha tidak peduli, mengabaikan mereka lalu masuk kedalam rumah nnya.

***
Malam ini. Tepat pukul 19.00 di balkon lantai dua rumahnya, Rai menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya dengan lembut. Sesekali ia tatap langit dengan lamat- lamat. Tidak terlalu indah. Sebab bintang sedang tidak ada.

Sinta muncul dari belakang. Membawa dua cangkir teh susu untuk ia nikmati bersama Rai.

"Rai.." sembari menyodorkan cangkir itu ke arah Rai. Sementara hening. Sinta dan Rai menatap langit. disana hanya ada bulan sebagai pengindah langit malam ini.

"Menurut lo, orang yang suka diam- diam sama seseorang, perlu ga sih untuk dihargai, sekalipun orang itu nggak suka sama kita?" Tanya sinta membuka suara.

"Ta..ta..kayanya lo salah server deh, ngehubungin pertanyaan itu ke gue,"
"Harusnya hal-hal ginian itu tanya sama aryo atau nggak boni!

"Yaa gimana... mereka kan nggak ada benernya" kilah Sinta

"Eit, lu jangan remehin dulu, inget gak lu pas waktu umur 6 tahun sering ngeremehin aryo. Ngatain dia gak bakal bisa jadi dokter cuma perkara matematika, tapi lihat sekarang,.."

"Iya-iya. Tapi Kan ini beda"
"Anyway, gue cuman minta pendapat lo doang aja kali!" gerutu sinta sembari memanyunkan bibirnya.

"Hmmm, okey. Yah menurut gue perlu sih,"
"Batasan seseorang suka atau jatuh cinta diam-diam itu kalau satu diantara merekamau mengikhlaskan.."

"Apa harus semaklum itu sama dirinya sendiri"

"Sintaaa.." ucap Rai sambil mendekat kearahnya.
"Diam diam itu emang perlu resiko. Resiko sakit namanya, karena dia cuma berjuang sendiri. Dan kita nggak bisa bicara pemakluman untuk itu. Yang ampuh ya cuma ngikhlasin dia sama orang lain."

"Hmm.,sakit yah rai" ucap Sinta sendu sambil menatap langit

"Bentar..bentar..,kok lo tiba-tiba ngebahas ginian sih"

"Ya-yaaa..nggak papa kali, gue mau tau aja perspektif orang lain gimana," kata Sinta. Tapi Rai merasa bahwa bukan itu alasannya.
"Soalnya..soalnya gue pengen lagi ngisi tulisan gue lagi di blog, cause semenjak kuliah ini blog gue udah lama hiatus" ucap Sinta beralasan.

"Hmmm.." angguk Rai paham sembari menyeruput tehnya. Sebab sudah merasa yakin dengan alasan Sinta.

Rai kembali mentap langit sembari tersenyum lebar, entah apa yang sedang ia khayal di dinding langit itu.



To Be Continued

CERITA CINTA RAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang