05. Daddy

307 27 0
                                    

Beli ikan Hiu

Dalam botol kaca

I love you

Buat yang baca

[]

Sebenarnya, proses untuk mendapat sebuah pacar untuk diriku tidak semulus orang lain. Apalagi aku tidak punya modal apa-apa untuk bisa dibanggakan dan diidam-idamkan cowok-cowok di luar sana.

Setelah aku trauma dengan aplikasi kencan yang hanya membutuhkan 'teman kencan' saja, aku memutuskan untuk memakai Tinder. Aplikasi ini konon lebih mengutamakan keseriusan dibanding aplikasi biru, kuning dan yang lain.

Ada empat orang yang masuk ke dalam kehidupan romansaku dalam waktu enam bulan. Kronologinya seperti ini: aku dekat dengan Shua dan juga Rama, tapi aku lebih memilih Shua. Hanya saja, gagal di pertengahan dan aku kembali dekat dengan Rama. Putra datang dan dia mengaku jika dia ada pacar, maka aku memilih untuk bersama dengan Rama.

Hubunganku dengan cowok asli Jogja itu juga tidak lama. Hanya dalam dua bulan, kami mengakhiri hubungan kami karena aku keras kepala dan dia juga tidak mau mengalah. Hal yang paling lucu adalah, setelah putus, kami malah dekat seperti teman satu lingkaran gosip.

Setelah aku putus dengan Rama, aku mengabari Putra karena kami berteman. Maka, dekatlah kami kembali meski aku belum yakin dengan Putra karena kondisinya yang masih ada pacar. An abusive boyfriend. Aku akan jelaskan mengapa Putra terdengar senang ketika putus dengan dia. Nanti. Tidak sekarang.

Selama jalan dengan Putra, aku juga dekat dengan seorang gadun. Usianya di dalam Tinder adalah tiga puluh tiga tahun. Tidak terlalu tua jika dibanding aku yang masih berusia hampir dua puluh lima. Aku masih mentolerir jarak usia kami. Hal ini dikarenakan aku banyak dekat dengan orang-orang yang usianya di bawahku. Seringnya aku dikira seumuran dengan mereka, atau aku lebih muda. Hal ini dikarenakan ukuran tubuhku memang mungil. Aku ingin merasakan hal yang berbeda dengan berkencan dengan yang lebih tua. Mungkin lebih tua dari mantan yang menyelingkuhiku, agar aku tahu apa yang terjadi ketika aku berkencan dengan orang-orang yang berbeda-beda secara umur maupun penampilan.

Hanya saja, ketika pertama ketemu di Jogja—uh, lagi-lagi aku deket dengan cowok kota ini—ternyata dia mengaku jika sudah berkepala empat. Namanya Om Dedi. Dia nggak mau aku panggil Oom, karena memang dia ternyata punya tubuh yang seukuran denganku dan dia terlihat lebih muda. Aku memanggilnya Mas Dedi.

Mas Dedi, ya, bukan Mas Daddy.

Aku ingin mencoba hal yang baru. Mungkin karena penasaran dengan temanku yang bisa dekat dengan gadun dan akhirnya mendapat beberapa keuntungan yang membuatku berpikir dua kali.

Posisiku sekarang adalah menganggur. Setelah kandas dari Rama, aku juga mengandaskan diri di dalam pekerjaanku yang sebelumnya. Hanya saja, aku bodoh karena tidak banyak menabung. Aku masih ada tanggungan uang kuliah yang harus aku cicil tiap bulan. Tabunganku tidak cukup dan aku harus UAS.

Hubunganku dengan Mas Dedi bisa dibilang adalah hubungan satu pihak. Mas Dedi beneran tergila-gila denganku, dan aku malah semakin takut. Dia adalah pribadi yang rapuh. Dia memperlakukanku dengan sangat baik, tapi aku berpikir jika hal ini dia lakukan karena dia memang baik. Dia selalu memperlakukan orang dengan sangat-sangat baik. Dia takut karma.

Dia selalu berpikir jika dia harus melakukan kebaikan agar kebaikan yang lain datang kepadanya kelak. Dia terlalu baik untukku, mungkin. Karena itu aku menolaknya.

Aku menolak Mas Dedi karena beberapa hal. Hal yang utama adalah, dia sangat berpengaruh. Aku alergi dengan hal seperti itu. Aku takut hidupku akan sangat berubah jika aku bersamanya.

Berpengaruh di sini adalah, dia dikenal banyak orang. Relasinya dimana-mana. Dan ketika aku menganggur, dia mencarikan aku pekerjaan dan dia bisa mendapatkannya dengan mudah. Hanya saja, aku masih tidak bisa meninggalkan Semarang. Ada kuliah yang masih harus aku selesaikan.

Tidak juga dengan Solo. Terlalu berat untukku yang harus mengikuti kelas dalam perkuliahan dan bukan dengan online seperti Universitas Terbuka. Fisikku gampang capek, meski posisi yang ditawarkan adalah asisten manager.

Aku nggak mau memakai kekuatan orang dalam. Aku enggan untuk punya hutang budi dengan seseorang karena aku tidak yakin bisa dengan layak melakukan pekerjaan dengan baik. Bisa-bisa, aku malah mencoreng namanya.

Yang selanjutnya adalah karena gaya hidup kami sangat berbeda. Aku tidak merokok, tidak minum, tidak pergi ke Bar atau hal-hal yang seperti ini. Aku ini introvert yang bisa mati lemas jika berada di dalam kerumunan terlalu lama. Pusing, sih. Nggak mati beneran.

Hal pertama yang membuatku terkejut saat pertemuan pertama kami adalah, saat kami makan siang di sebuah warung makan tradisional dan teman-temannya datang menyusul. Aku nggak keberatan dengan kengondekan seseorang. Bahkan, aku juga kadang suka kendor sekrupnya. Hanya saja, aku tidak yakin bisa bertahan lama dengan bergaul dan bercengkerama dengan orang-orang bekepala empat dan, yah, aku nggak bisa masuk ke dalam topik obrolan mereka.

Meskipun aku introvert, aku benci menjadi asing dalam suatu kelompok. Itu sangat membuatku tidak nyaman.

Yang terakhir mungkin adalah hal yang paling buruk. Berpengaruhnya bukan hanya karena dia berjiwa sosialis (aku tidak yakin ketika mengetik hal ini). Latar belakang dia adalah hal yang paling menyeramkan.

Dia menceritakan keadaan dia di masa lalu dan aku dengan sengaja mencari nama lengkapnya di Google. BOOM! Ada sebuah jurnal penelitian, atau apalah itu, yang menceritakan tentang apa yang telah dilakukan orangtuanya di masa ORBA. Aku mencocokkan dengan apa yang sudah Mas Dedi ceritakan dan aku tidak bisa menilai mana yang lebih benar.

Aku takut. Sungguh. Dia sangat seberpengaruh itu di Jogja. Alergiku dengan orang macam Mas Dedi ini beneran kambuh.

"Dek, jujur sama Mas. Kamu itu ada masalah apa sebenernya. Kamu kenapa nggak mau ke Jogja nemuin Mas?"

Aku posisi dekat dengan Putra, hanya saja, aku tidak mau menyakiti hati Mas Dedi. Aku takut jika kejadian sebelum denganku terulang lagi.

Ada seseorang yang diambil Mas Dedi dari bukan apa-apa menjadi sesuatu yang berharga. Hanya saja, apa yang dia lakukan itu semata-mata hanya memanfaatkan apa yang ada di dalam Mas Dedi. Alhasil, hidup orang itu dibuat hancur. Apa yang telah dia pernah terima dan dapatkan, sirna. Mulai dari nol. Beneran nol.

Aku takut. Banget. Kemudian, aku melihat motif kenapa aku mau untuk didekati Mas Dedi. Penasaran ini akan membunuhku cepat atau lambat. Bukan membunuhku secara beneran, tapi kehidupanku. Mungkin, aku akan terjebak di dalam kehidupan Mas Dedi dan tidak menjadi diriku sendiri.

"Aku nganggur, Mas. Tabunganku udah mulai tipis."

"Emang kalau kamu ke Jogja, Mas gak ganti transport kamu?"

"Bukan, gitu, Mas."

"Bukan gimana? Gak usah dipikirin, Dek. Yang penting, besok Jumat adek siap-siap pergi ke Jogja aja. Sabtu nanti Mas libur. Untuk urusan transport, biar Mas yang ngurus. Tapi, adek masih punya uang ke Jogja, kan? Nanti pas pulang, Mas ganti semua."

Aku masih diam tanpa kata, enggan untuk memberikan jawaban. Id dan egoku sedang bertarung untuk menentukan langkah mana yang akan aku lakukan.

"Dek? Kok nggak dijjawab"

"Aku pikir-pikir dulu, Mas."

"Dek.... Mas kangen sama kamu. Masa adek nggak kangen sama Mas?"

"Bukan gitu, Mas."

"Ke Jogja, ya?" bujuk Mas Dedi.

"Kita lihat nanti ya, Mas."

[]

Hehe. Masih ada yang baca, toh? Aku terkejud terheran-heran kalian masih betah ><

Makasih lho ya <3

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang