08. Slow but Change

168 19 0
                                        

Aku masih percaya dengan permainan kartu tarot. Begitupun juga Putra. Kami percaya dengan adanya energi yang bisa dimasukkan ke dalam kartu untuk membaca sebuah kejadian. Hanya saja, ini mengandalkan intuisi dan menebak-tebak apa yang telah terjadi dan kemungkinan yang akan terjadi.

“Ketika uang mendatangimu, kamu menjadi kreatif?” aku membaca arti di buku panduan. “Mungkin berkaitan dengan kamu yang udah digaji dari tempat kerjamu?”

Putra melakukan magang di sebuah hotel selama beberapa bulan (yang tidak ada bayaran gitu), kemudian karena performa dia bagus, dia menjadi karyawan harian. (Kalau aku tidak salah ingat dan aku lupa namanya. Casual?)

Akibat dia mendapat gaji pertama, dia sudah ada rencana apa saja yang bakal dia beli dengan hasil keringatnya sendiri. Belanja bulanan untuk keperluan pribadi adalah prioritas.

Ketika aku masih menganggur dan tidak ada pemasukan, aku pikir sah-sah saja untuk dia menghabiskan hasil kerja kerasnya sebulan. Hanya saja, bukan semuanya benar-benar dihabiskan, tapi dia melakukan manajemen keuangan agar tidak sampai kehabisan uang ketika masih awal bulan.

Aku nggak terlalu memerhatikan hal ini dan bertanya tentang uang saku dari orangtuanya. Toh Putra masih kuliah, kan, itungannya? Hanya saja, sekarang sudah punya penghasilan sendiri meski kuliahnya keteteran.

“Aku mau kursus nyetir. Soalnya aku belum bisa dan kayaknya hal ini berguna buat pekerjaanku kalau semisal aku ngurus valet dan nggak di pool lagi.”

Beberapa hal lain yang disebutkan Putra adalah gym, suntik putih, beberapa potong baju baru, kacamata dan ponsel. Aku nggak masalah untuk yang terakhir, tapi dua yang awal. Aku bertanya-tanya apa motivasi yang membuatnya ingin melakukan hal itu.

Ternyata bukan lain karena lingkaran pertemanan di hotel. Dua di antara atasan Putra adalah gay dan mereka cocok satu sama lain ketika sudah berada di dalam obrolan. Hanya saja, ketika Putra bilang ingin suntik putih, aku rasanya ingin marah.

Putra memiliki darah separuh Jawa dan separuh Cina. Dengan muka dia yang tidak terlalu jawa, dia juga punya gen kulit putih. Aku yang Jawa dan berkulit kuning langsat, berontak di dalam hati.

Untuk apa dia mau lebih putih? Untuk apa? Aku tidak mempermasalahkan jenis kulitnya. Bahkan, aku pernah punya pacar asli Jogja dengan kulit sawo matang. Tidak masalah. Kalau dia hanya ingin ikut-ikutan dengan atasannya yang memang sedang dalam proses glow up, aku tidak terima.

Jika dia juga ingin gym karena ikut atasannya, aku juga tidak terima. Aku tidak mempermasalahkan bentuk tubuhnya. Toh dia sudah punya proporsi tubuh yang bagus. Tinggi 180 dan berat yang hampir menyentuh angka 90.  Mau apa lagi gitu, lho? Aku nggak habis pikir. Pantat dia juga bagus gitu.

Kalau mau sehat, aku pikir dia harus memperbaiki pola makan dia. Diet dulu gitu, lah. Nggak tahu, deng. Aku aja mau naikin berat badan susah. Selalu di angka 49. Kalau sudah sakit atau stress, bia turun di angka 47. Kurus banget. Dengan tinggi yang hanya mentok di angka 160, akuu rasa aku ini kekurangan gizi dan banyak stress ketika dalam masa pertumbuhanku.

Apa lagi yang hendak dia ingin capai? Aku tidak menuntut apa-apa karena aku sadar kalau aku juga tidak mau dituntut.

Perubahan Putra ini sungguh mengusikku. Sangat. Kemudian aku ingat tentang percakapan kami dengan topik, anak pertama yang sudah mentas pendidikan, kemudian bekerja, sudah sepatutnya membantu orangtua untuk membantu biaya sekolah adiknya.

Aku rasa, dengan kondisi keluarga kebanyakan orang Indonesia yang bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, hal ini sudah lumrah. Aku melakukan hal itu ketika masih bekerja. Aku memberikan sebagian uangku untuk meringankan mereka ketika membeli kebutuhan. Terkadang, aku juga memikirkan barang apa yang akan aku beli untuk mengisi rumah, karena sejujurnya orangtuaku bukan tipe yang suka beli barang. Asal masih bisa dipakai, mereka akan bertahan dengan produk lama.

Putra berseberangan denganku. Dia tidak ingin melakukan hal itu. Orangtua memang wajib untuk menyekolahkan anaknya, dan ketika sudah mentas dan bekerja, maka anak berhak untuk menggunakan uang pribadi untuk pribadi.

Ketika membahas hal itu, aku banyak diam dan menangis dalam hati. Hingga aku tak kuat dan aku bercerita tentang hal ini kepada ibuku.

Terpujilah wahai ibu yang sabar dan penuh pengertian. Ibuku tidak menyalahkan pola pikir kami yang berbeda. Ibuku berpikir jika hal begini adalah hasil dari sebuah hubungan dengan orangtua dengan anak yang memiliki bayak variasi.

Ibuku menyerahkan keputusan kepadaku dengan uang hasil keringatku sendiri. Hanya saja, ini adalah satu hal yang kalian harus tahu: ibuku taat agama. Hasil buah sulung akan diberikan semuanya kepada Tuhan. Dikembalikan semuanya. SEMUA. Aku ulangi  S E M U A. Gaji pertamaku yang tidak seberapa, aku relakan untuk pekerjaan Tuhan di Gereja. Aku selama sebulan sudah bekerja dan mendapat hasil, tidak merasakan bisa beli ini-itu dengan gajiku. Aku harus bekerja sebulan lagi baru bisa beli sesuatu yang aku inginkan.

Kalau kalian, berani nggak merelakan gaji pertama kalian untuk dikembalikan semuanya kepada Tuhan?

Aku mendukung-dukung aja sih, keputusan Putra. Hanya saja aku juga memperingatkan jika dia harus memiliki simpanan. Atau nggak, dia nggak akan kehabisan uang untuk transport dan jajan sebulan. Dia harus memperhitungkan hal tersebut. Jangan sampai obrolan kami menjadi seperti ini.

“Uangku udah mulai abis, Beb.”

“Emang kamu beli apa aja?”

Putra memberikanku sebuah cerita untuk apa saja uangnya telah digunakan. Ya bagus kalau dia menggunakan uang untuk kursus nyetir mobil. Terus dia belanja dan jajan.

Aku kudu gimana? Posisi aku juga masih dalam sebulan kerja aja belum ada. Aku juga harus membayar kuliah dan juga hutang ke Mas Dedi. Bantu keuangan dia? Aku cuma pacar, lho, ya. Prioritasku bukanlah pacaran yang terutama. Alias aku ini miskin kalau harus membiayai pacar juga.

“Eh sebentar, gofood aku udah dateng.”

Nggak punya uang tapi order makanan. Oke. Nggak masalah dong berarti keuangan dia.

Atau, ketika kami jalan bareng buat jalan-jalan yang sudah dipesankan paketnya. Sepulang jalan, ada obrolan begini.

“Aku sebenernya udah nggak ada duit buat jalan, tapi untungnya ada tamu yang ngasih tip buat jalan hari ini. Aku bersyukur karena Tuhan itu masih baik sama aku.”

Iya. Tuhan Maha Baik memang selalu memberi apapun yang kita minta ketika mengetuk pintu. Hanya saja, aku merasa jika memang sebaiknya kita sebagai manusia bisa mengatur diri sendiri agar tidak berkekurangan. At least, dia sudah ada simpanan untuk bayar paket jalan-jalan sore itu dan bukan menggunakan uang tips. Bagaimana jika siang sebelum kami bertemu tidak ada yang memberi dia tip?

Dia sungguh orang yang optimis dan aku pesimis. Kelewat pesimis.

Finally, he paid the packages and I paid the dinner. Fair enough. We went back to my parent’s house and slept.

There was something that I didn’t tell Putra about that day. I was angry at that time, the whole evening, and ruined my mood. Plus, he asked me to do something before we slept.

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang